Ketika Abdul Muththalib (kakek Nabi Muhammad) tidur di
Hijir Ismail, ia bermimpi diperintah untuk menggali sumur Zamzam. Abdul
Muththalib menuturkan kisahnya. Begini kisahnya:
“Ketika aku sedang tidur di Hijir Ismail, tiba-tiba dalam
mimpi aku didatangi oleh seseorang dan berkata kepadaku: “Galilah Thiibah!”
“Apa itu Thiibah?” kataku. Kemudian orang itu menghilang!
Keesokan harinya aku kembali tidur di tempat semula. Dalm
tidur aku kembali bermimpi didatangi seseorang dan berkata, “Galilah Madhhuunah!”
“Apa itu Madhuunah?” kataku. Ornag itu kembali
menghilang.
Esoknya aku kembali tidur di situ. Dalam tidur aku bermimpi
seperti malam kemarin. Seseorang datang kepadaku dan berkata, “Galilah Zamzam!”
“Apa itu Zamzam?” kataku.
“Yaitu sumur yang tiada terkuras habis dan tiada mengering,
memberi minum para jama’ah haji yang datang berduyun-duyun. Letaknya di antara kotoran
dan tanah[1],
dekat patukan gagak a’sham[2],”sahutnya.
****
Lalu diceritakan:
Setelah jelas baginya lokasi sumur Zamzam itu dan ia yakini
itulah tempatnya, ia pun keluar dengan membawa peralatan dibantu oleh putranya
bernama Al-Harits. Saat itu putranya baru seorang. Begitu tampak baginya batu
penutup sumur ia pun bertakbir, sehingga orang-orang Quraisy mengetahui bahwa
ia telah berhasil menemukannya.
Mereka pun berangkat menemui Abdul Muththalib, lalu
berkata, “Wahai Abdul Muththalib! Itu adalah sumur bapak kita, Ismail. Berilah
bagian untuk kami karena kami pun punya hak di dalamnya!”
Abdul Muththalib menjawab: “Tidak! Sumur ini khusus bagiku!
Tidak untuk kalian!”
“Bersikap adillah, sebab kami takkan membiarkanmu begitu
saja memilikinya! Kami akan menggugatmu!” tantang mereka.
“Tunjukilah seorang hakim hingga aku dapat mengajukan
tuntutanmu padanya!” jawab Abdul Muththalib.
Mereka menjawab,”Kami menunjuk Hudzaim, seorang dukun Bani
Sa’ad sebagai hakimnya.”
“Baiklah kalau begitu!” jawabnya.
Hudzaim ini tinggal di sebuah dataran tinggi di negeri Syam.
Abdul Muththalib disertai beberapa orang Bani Abdi Manaf berangkat bersama para
utusan Quraisy. Masing-masing kabilah mengutus satu orang.
Medan yang mereka lalui ketika itu berupa padang sahara
yang tandus. Ketika mereka tiba di salah satu padang sahara antara Hijaz dan
Syam, Abdul Muththalib dan rombongannya kehabisan air. Karena rasa haus dan
dahaga, mereka hampir-hampir mati. Mereka lalu meminta air kepada rombongan
utusan kabilah Quraisy, tetapi ditolak. Mereka berkata, “Kami sekarang ini
berada di padang sahara yang tandus. Kami khawatir kehabisan air seperti
kalian!”
Melihat sikap mereka seperti itu dan menimbang kondisi
dirinya dan rekan-rekannya yang sangat mengkhawatirkan, Abdul Muththalib
berkata kepada rekannya, “Bagaimana pendapat kalian?”
“Kami mengikut saja apa katamu. Kami hanya mengikuti
komandomu!” jawab mereka.
“Menurut hematku, masing-masing kita menggali lubang
(kubur) nya sendiri dengan kekuatan yang ada. Bila salah seorang dari kita
menjumpai ajalnya, maka rekan-rekan yang lain tinggal memasukkannya ke dalam
lubang itu dan menguburnya. Hingga nanti tinggallah satu orang, perbekalan
untuk satu orang tentu lebih ringan daripada perbekalan satu rombongan!” tegas
Abdul Muththalib.
“Bagus sekali saranmu itu!” sambut mereka.
Maka mereka pun mulai menggali lubang masing-masing.
Kemudian mereka duduk menunggu ajal dalam keadaan dahaga. Kemudian Abdul
Muththalib berkata kepada rekan-rekannya, “Demi Allah, sikap pasrah kita
seperti ini menunggu kematian tanpa berusaha mencari air dan mencari
pertolongan bagi diri kita adalah sikap yang lemah! Semoga Allah memberi kita
air di tempat lain! Ayo, kita pergi dari sini!”
Mereka pun bergegas pergi dari situ. Namun tidak juga
mendapat apa-apa. Sementara rombongan utusan kabilah Quraisu menyaksikan apa
yang mereka lakukan. Abdul Muththalib bangkit menuju kendaraannya. Baru saja
hewan tunggangannya melangkah, tiba-tiba memancar air tawar yang segar dari
bawah kaki tunggangannya. Melihat keajaiban itu, bertakbirlah Abdul Muththalib
diikuti rekan-rekannya. Mereka pun turun dari kendaraan dan ramai-ramai
meminumnya. Mereka isi wadah-wadah air hingga penuh. Kemudian beliau memanggil
rombongan utusan kabilah Quraisy seraya berseru, “Mari minum di mata air ini.
Allah telah memberi kami air! Minum dan ambillah airnya!”
Mereka pun datang meminumnya dan memenuhi wadah air mereka
masing-masing. Kemudian mereka berkata, “Demi Allah, wahai Abdul Muththalib,
engkau telah memenangkan perkara ini. Kami tidak akan menggugatmu lagi tentang
sumur Zamzam selama-lamanya. Sesungguhnya Yang telah memberimu air di padang
sahara yang tandus ini adalah Dia yang memberimu sumur Zamzam. Kembalilah dan
tanganilah sumur Zamzam itu dengan baik.”
Mereka semua kembali tanpa sempat bertemu dengan dukun
tersebut dan tidak lagi menghiraukan hal itu.
Sumber: Tahdziib Sirah Ibnu Hisyaam, Abd As-Salam
Harun
Ditulis ulang oleh Hasan Al-Jaizy
[1]
Konon riwayatnya, ketika Abdul Muththalib hendak memulai menggalinya, ia
melihat ciri ciri yang disebutkan dalam mimpinya, yaitu rumah dan patukan gagak.
Namun ia belum melihat kotoran dan darah. Ketika ia sedang memikirkannya,
tiba-tiba seekor sapi lepas dari tukang jagal. Mereka baru berhasil
menangkapnya kembali di dalam Masjidil Haram. Lalu si tukang jagal
menyembelihnya di situ. Maka mengalirlah darah dan kotorannya di tempat itu.
Mengertilah Abdul Muththalib bahwa itulah tempat yang disebutkan dalam
mimpinya. Ia pun menggali sumur Zamzam di situ.
[2] A’sham
adalah burung gagak yang terdapat bercak putih pada sayapnya
MasyaAllah..memang Rasulullah benar-benar keturunan terhormat di kaumnnya..
ReplyDelete