Hadits-hadits
ahad selain yang berderajat dha’if memiliki faedah-faedah sebagai berikut:
Pertama, menunjukkan dugaan kuat (zhann),
yaitu dugaan terkuat akan keabsaan penisbatan hadits tersebut kepada orang yang
menjadi sumber penukilan. Hal itu berbeda-beda sesuai dengan derajatnya. Hadits
ahad bisa juga memberikan faedah ilmu (yaqiin) jika memiliki berbagai
indikasi (qaraa’in) yang menguatkan hal itu dan dikuatkan oleh dalil
pokok (yaitu Al-Qur’an atau hadits shahih).
Kedua, mengamalkan kandungannya, yaitu
dengan membenarkannya jika berupa berita dan menerapkannya (melaksanakannya)
jika berupa tuntutan.
Adapun
hadits dha’if, maka tidak memberikan faedah zhann, tidak dapat
diamalkan, tidak boleh dianggap sebagai dalil, tidak boleh disampaikan kecuali
jika disertai penjelasan akan kelemahannya. Namun hadits dha’if boleh
disampaikan dalam perkara targhiib (anjuran) dan tarhiib
(enakut-nakuti). Sekelompok ulama bersikap toleran dalam hal tersebut dengan
memberi 3 syarat berikut:
a. Kelemahannya
tidak berat
b. Amalah
yang disebutkan dalam hadits targhiib dan tarhiib tersebut
memiliki asal dalam dalil-dalil yang shahih.
c. Tidak
berkeyakinan bahwa Nabi mengucapkan hadits dha’if tersebut.
Berdasarkan
hal ini, maka penyampaian hadits dha’if dalam masalah targhiib bertujuan
untuk memotivasi jiwa agar mengamalkan perkara yang disebutkan dalam hadits
tersebut dengan harapan memperoleh pahala (yang dijanjikan). Jika dia
mendapatkan pahala tersebut, maka itulah yang diinginkan. Tetapi jika tidak,
maka kesungguhannya dalam beribadah tidaklah membahayakan dan ia pun tidak akan
kehilangan pokok pahala yang merupakan konsekuensi dari pelaksanaan amalan yang
telah diperintahkan oleh syari’at.
Adapun
faedah penyampaian hadits dha’if dalam perkara tarhiib adalah untuk
membuat manusia lari dari perbuatan yang dilarang akarena takut mendapatkan
hukuman. Hal tersebut tidaklah membahayakan dirinya dan hukuman yang disebutkan
dalam hadits tersebut juga tidak menimpanya.
No comments:
Post a Comment