Hadits
Shahih Lidzaatih adalah:
ما
رواه عدل تام الضبط بسند متصل، وسلم من الشذوذ والعلة القادحة
“Apa yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang adil dan
memiliki hafalan sempurna dengan sanad bersambung serta selamat dari syadz dan
cacat yang berat.”
A. Al-Adaalah
(keadilan) adalah istiqamah
(konsistensi) dalam agama dan muruu’ah
Istiqamah dalam agama artinya menunaikan berbagai
kewajiban dan meninggalkan berbagai keharaman yang dapat membuat seseorang
menjadi fasik.
Istiqamah
dalam hal muruu’ah artinya memiliki adab dan akhlak
yang dipuji manusia serta meninggalkan adab dan akhlak yang dicela manusia.
Sifat adaalah
seorang perawi dapat diketahui dengan ketenaran akan sifat keadilan yang ia
miliki. Misalnya para imam yang telah terkenal akan sifat adaalah-nya
seperti Malik, Ahmad, Al-Bukhary, dan semisalnya. Demikian juga hal itu dapat
diketahui dari pernyataan tegas seorang imam hadits yang ucapannya menjadi
sandaran dalam hal itu.
B. Adh-Dhabth
(memiliki hafalan yang sempurna)
artinya menyampaikan hadits yang ia peroleh baik dengan metode pendengaran atau
penglihatan sesuai dengan yang ia peroleh pertama kali tanpa ada penambahan
atau pengurangan. Meskipun demikian, tidaklah mengapa jika dia berbuat sedikit
kesalahan, karena tidak ada seorang pun yang terbebaskan dari kesalahan.
Kesempurnaan
hafalan seorang perawi hadits dapat diketahui dari kesesuaian riwayat yang ia
sampaikan dengan riwayat para perawi terpercaya (tsiqat) yang merupakan
para imam huffazh (para penghafal hadits yang mumpuni) meskipun secara
umum. Dan juga dari rekomendasi seorang imam hadits yang ucapannya menjadi patokan
dalam hal tersebut.
C. Sanad
yang bersambung
artinya setiap perawi menjumpai orang yang diambil periwayatannya (gurunya)
baik secara langsung maupun secara hukum (status).
Secara
langsung artinya
perawi bertemu dengan gurunya sehingga dia mendengar hadits darinya atau
melihatnya. Dan gurunya menyampaikan hadits tersebut kepadanya dengan
mengatakan, haddatsany (telah menceritakan kepadaku), sami’tu
(aku mendengar), ra’aitu fulaanan (aku melihat fulan), atau semisalnya.
Secara
hukum (status)
artinya perawi meriwayatkan hadits dari orang yang sezaman dengannya (artinya:
sang perawi tidak bertemu langsung dengan guru yang meriwayatkan hadits
tersebut) dengan lafadz (redaksi) yang memiliki kemungkinan dia mendengar atau
melihat riwayat tersebut, misalnya ucapan qaala fulaanun (fulan
berkata), an fulaanin (dari fulan), fa’ala fulaanun (fulan
melakukan) atau semisalnya.
Apakah
dipersyaratkan bahwa orang yang sezaman harus bertemu (dengan gurunya) atau
cukup dengan adanya kemungkinan dia bertemu?
Dalam hal
ini ada dua pendapat. Al-Bukhary berpendapat yang pertama (yakni: harus
bertemu), sedang Muslim berpendapat yang kedua (yakni: ada kemungkinan
bertemu).
An-Nawawy
berkata mengomentari pendapat Muslim:
أنكره
المحققون، قال: وإن كنا لا نحكم على مسلم بعمله في "صحيحه" بهذا المذهب لكونه
يجمع طرقاً كثيرة يتعذر معها وجود هذا الحكم الذي جوزه، والله أعلم
“Para ulama peneliti mengingkari pendapat yang beliau pilih,
meskipun kami tidak memvonis bahwa hadits yang beliau bawakan dalam kitab
Shahih-nya diriwayatkan dengan metode seperti pendapat yang beliau pilih. Hal
ini dikarenakan beliau telah mengumpulkan jalur yang banyak yang membuktikan
bahwa pendapat yang beliau pilih tersebut tidak diterapkan dalam penyusunan
kitab Shahih tersebut. Wallahu a’lam.”
Perselisihan ini hanya berlaku bagi perawi
yang bukan mudallis. Adapun perawi mudallis, maka haditsnya tidak
dihukumi bersambung kecuali jika dia menyampaikan secara jelas bahwa dia
mendengar atau melihat (dengan shighat jazim).
Sanad yang
tidak bersambung dapat diketahui dengan 2 cara berikut:
Pertama, adanya pengetahuan bahwa orang
yang akan diambil riwayat haditsnya telah meninggal sebelum perawi yang
meriwayatkan darinya belum mencapai usia tamyiiz.
Kedua, perawi atau salah seorang imam
ahli hadits menyebutkan bahwa hadits tersebut tidak bersambung dari orang yang
diambil riwaatnya, tidak mendengarnya, atau tidak melihat hadits yang
disampaikan darinya.
D. Syudzuudz artinya seorang perawi tsiqah
menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya. Baik dikarenakan perawi
tersebut memiliki sifat adil dan hafalan yang lebih banyak, atau dia
bermulazamah langsung dengan orang yang dia riwayatkan haditsnya atau
semisalnya.
Contohnya
adalah hadits Abdullah bin Zaid tentang tata cara wudhu Nabi shallallahu
alaihi wa sallam yang menyebutkan bahwasanya “Beliau mengusap kepala beliau
dengan air bukan sisa basuhan tangan beliau.” Muslim meriwayatkan hadits
dengan lafadz ini dari jalur Ibnu Wahb. Sementara itu, Al-Baihaqy meriwayatkan
hadits yang sama juga dari jalur Ibnu Wahb dengan lafadz, “Beliau mengambil air
untuk mengusap kedua telinga beliau selain air yang digunakan untuk mengusap
kepala beliau.”
Riwayat
Al-Baihaqy adalah syadz karena orang yang meriwayatkan dari Ibnu Wahb
adalah perawi tsiqah, tetapi dia menyelisihi banyak perawi lainnya.
Sekelompok orang meriwayatkan dari Ibnu Wahb dengan lafadz yang serupa dengan
lafadz Muslim. Atas dasar ini, maka riwayat Al-Baihaqy tidak shahih meskipun
para perawinya aalah kredibel (tsiqah). Riwayat ini tidak shahih karena
tidak selamat dari syudzuudz.
E. Illah
Qaadihah (cacat
yang berat) artinya setelah diteliti ternyata hadits tersebut mengandung sebab
yang membuatnya tidak dapat diterima. Semisal, ternyata hadits tersebut munqathi’,
mauquuf, atau perawinya fasik, hafalannya jelek, dan faktor-faktor sejenis.
Hadits seperti ini tidak dihukumi sebagai hadits shahih karena tidak selamat
dari cacat yang berat. Contohnya adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhuma
bahwasanya beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
لا
تقرأ الحائض ولا الجنب شيئاً من القرآن
“Orang yang sedang haid dan junub janganlah membaca sedikitpun
dari Al-Qur’an”
Hadits ini
diriwayatkan oleh At-Tirmidzy. Dia berkata, “Kami tidak mengetahuinya kecuali
dari hadits Ismail bin Iyasy dari Musa bin Uqbah.”
Secara
zahir sanad hadits ini shahih. Namun, ternyata memiliki cacat, yaitu riwayat
Ismail dari orang-orang Hijaz adalah riwayat yang dha’if. Sedang hadits ini
termasuk riwayat Ismail dari mereka. Atas dasar ini, maka hadits tersebut tidak
shahih disebabkan oleh adanya cacat yang berat. Namun, bila cacatnya tidak
berat, tidak menghalangi sebuah hadits mencapai derajat shahih atau hasan.
Contohnya adalah hadits Abu Ayyub Al-Anshary radhiyallahu anh bahwasanya
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
من
صام رمضان ثم أتبعه ستًّا من شوال كان كصيام الدهر
“Barangsiapa mengerjakan puasa Ramadhan kemudian mengikutinya
dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka seakan-akan dia berpuasa
selamanya.”
Muslim
meriwayatkan hadits ini dari jalur Sa’d bin Sa’id dan hadits ini dinilai cacat
karenanya karena Imam Ahmad menilainya sebagai hadits yang dha’if. Namun, cacat
ini tidaklah berat karena sebagian imam menilainya tsiqah. Di samping
itu, hadits ini memiliki mutabi’. Pencantuman hadits ini oleh Muslim
dalam kitab Shahih-nya juga menunjukkan bahwa menurut beliau hadits ini shahih
dan bahwasanya cacat yang terkandung di dalamnya tidaklah berat.
--------------------------
Sumber: Ilm Mushthalah Al-Hadiits, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimiin
Penerjemah: Ahmad S Marzuqi
ditulis ulang oleh Hasan Al-Jaizy
No comments:
Post a Comment