Tuesday, February 12, 2013

Hadits Shahih Lidzaatih


Hadits Shahih Lidzaatih adalah:

ما رواه عدل تام الضبط بسند متصل، وسلم من الشذوذ والعلة القادحة

“Apa yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang adil dan memiliki hafalan sempurna dengan sanad bersambung serta selamat dari syadz dan cacat yang berat.”


A. Al-Adaalah (keadilan) adalah istiqamah (konsistensi) dalam agama dan muruu’ah

Istiqamah dalam agama artinya menunaikan berbagai kewajiban dan meninggalkan berbagai keharaman yang dapat membuat seseorang menjadi fasik.

Istiqamah  dalam hal muruu’ah artinya memiliki adab dan akhlak yang dipuji manusia serta meninggalkan adab dan akhlak yang dicela manusia.

Sifat adaalah seorang perawi dapat diketahui dengan ketenaran akan sifat keadilan yang ia miliki. Misalnya para imam yang telah terkenal akan sifat adaalah-nya seperti Malik, Ahmad, Al-Bukhary, dan semisalnya. Demikian juga hal itu dapat diketahui dari pernyataan tegas seorang imam hadits yang ucapannya menjadi sandaran dalam hal itu.



B. Adh-Dhabth (memiliki hafalan yang sempurna) artinya menyampaikan hadits yang ia peroleh baik dengan metode pendengaran atau penglihatan sesuai dengan yang ia peroleh pertama kali tanpa ada penambahan atau pengurangan. Meskipun demikian, tidaklah mengapa jika dia berbuat sedikit kesalahan, karena tidak ada seorang pun yang terbebaskan dari kesalahan.
Kesempurnaan hafalan seorang perawi hadits dapat diketahui dari kesesuaian riwayat yang ia sampaikan dengan riwayat para perawi terpercaya (tsiqat) yang merupakan para imam huffazh (para penghafal hadits yang mumpuni) meskipun secara umum. Dan juga dari rekomendasi seorang imam hadits yang ucapannya menjadi patokan dalam hal tersebut.


C. Sanad yang bersambung artinya setiap perawi menjumpai orang yang diambil periwayatannya (gurunya) baik secara langsung maupun secara hukum (status).

Secara langsung artinya perawi bertemu dengan gurunya sehingga dia mendengar hadits darinya atau melihatnya. Dan gurunya menyampaikan hadits tersebut kepadanya dengan mengatakan, haddatsany (telah menceritakan kepadaku), sami’tu (aku mendengar), ra’aitu fulaanan (aku melihat fulan), atau semisalnya.

Secara hukum (status) artinya perawi meriwayatkan hadits dari orang yang sezaman dengannya (artinya: sang perawi tidak bertemu langsung dengan guru yang meriwayatkan hadits tersebut) dengan lafadz (redaksi) yang memiliki kemungkinan dia mendengar atau melihat riwayat tersebut, misalnya ucapan qaala fulaanun (fulan berkata), an fulaanin (dari fulan), fa’ala fulaanun (fulan melakukan) atau semisalnya.

Apakah dipersyaratkan bahwa orang yang sezaman harus bertemu (dengan gurunya) atau cukup dengan adanya kemungkinan dia bertemu?

Dalam hal ini ada dua pendapat. Al-Bukhary berpendapat yang pertama (yakni: harus bertemu), sedang Muslim berpendapat yang kedua (yakni: ada kemungkinan bertemu).

An-Nawawy berkata mengomentari pendapat Muslim:

أنكره المحققون، قال: وإن كنا لا نحكم على مسلم بعمله في "صحيحه" بهذا المذهب لكونه يجمع طرقاً كثيرة يتعذر معها وجود هذا الحكم الذي جوزه، والله أعلم

“Para ulama peneliti mengingkari pendapat yang beliau pilih, meskipun kami tidak memvonis bahwa hadits yang beliau bawakan dalam kitab Shahih-nya diriwayatkan dengan metode seperti pendapat yang beliau pilih. Hal ini dikarenakan beliau telah mengumpulkan jalur yang banyak yang membuktikan bahwa pendapat yang beliau pilih tersebut tidak diterapkan dalam penyusunan kitab Shahih tersebut. Wallahu a’lam.”

 Perselisihan ini hanya berlaku bagi perawi yang bukan mudallis. Adapun perawi mudallis, maka haditsnya tidak dihukumi bersambung kecuali jika dia menyampaikan secara jelas bahwa dia mendengar atau melihat (dengan shighat jazim).

Sanad yang tidak bersambung dapat diketahui dengan 2 cara berikut:

Pertama, adanya pengetahuan bahwa orang yang akan diambil riwayat haditsnya telah meninggal sebelum perawi yang meriwayatkan darinya belum mencapai usia tamyiiz.

Kedua, perawi atau salah seorang imam ahli hadits menyebutkan bahwa hadits tersebut tidak bersambung dari orang yang diambil riwaatnya, tidak mendengarnya, atau tidak melihat hadits yang disampaikan darinya.


D. Syudzuudz artinya seorang perawi tsiqah menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya. Baik dikarenakan perawi tersebut memiliki sifat adil dan hafalan yang lebih banyak, atau dia bermulazamah langsung dengan orang yang dia riwayatkan haditsnya atau semisalnya.

Contohnya adalah hadits Abdullah bin Zaid tentang tata cara wudhu Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menyebutkan bahwasanya “Beliau mengusap kepala beliau dengan air bukan sisa basuhan tangan beliau.” Muslim meriwayatkan hadits dengan lafadz ini dari jalur Ibnu Wahb. Sementara itu, Al-Baihaqy meriwayatkan hadits yang sama juga dari jalur Ibnu Wahb dengan lafadz, “Beliau mengambil air untuk mengusap kedua telinga beliau selain air yang digunakan untuk mengusap kepala beliau.”

Riwayat Al-Baihaqy adalah syadz karena orang yang meriwayatkan dari Ibnu Wahb adalah perawi tsiqah, tetapi dia menyelisihi banyak perawi lainnya. Sekelompok orang meriwayatkan dari Ibnu Wahb dengan lafadz yang serupa dengan lafadz Muslim. Atas dasar ini, maka riwayat Al-Baihaqy tidak shahih meskipun para perawinya aalah kredibel (tsiqah). Riwayat ini tidak shahih karena tidak selamat dari syudzuudz.


E. Illah Qaadihah (cacat yang berat) artinya setelah diteliti ternyata hadits tersebut mengandung sebab yang membuatnya tidak dapat diterima. Semisal, ternyata hadits tersebut munqathi’, mauquuf, atau perawinya fasik, hafalannya jelek, dan faktor-faktor sejenis. Hadits seperti ini tidak dihukumi sebagai hadits shahih karena tidak selamat dari cacat yang berat. Contohnya adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhuma bahwasanya beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئاً من القرآن

“Orang yang sedang haid dan junub janganlah membaca sedikitpun dari Al-Qur’an”

Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzy. Dia berkata, “Kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Ismail bin Iyasy dari Musa bin Uqbah.”
Secara zahir sanad hadits ini shahih. Namun, ternyata memiliki cacat, yaitu riwayat Ismail dari orang-orang Hijaz adalah riwayat yang dha’if. Sedang hadits ini termasuk riwayat Ismail dari mereka. Atas dasar ini, maka hadits tersebut tidak shahih disebabkan oleh adanya cacat yang berat. Namun, bila cacatnya tidak berat, tidak menghalangi sebuah hadits mencapai derajat shahih atau hasan. Contohnya adalah hadits Abu Ayyub Al-Anshary radhiyallahu anh bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

من صام رمضان ثم أتبعه ستًّا من شوال كان كصيام الدهر

“Barangsiapa mengerjakan puasa Ramadhan kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka seakan-akan dia berpuasa selamanya.”

Muslim meriwayatkan hadits ini dari jalur Sa’d bin Sa’id dan hadits ini dinilai cacat karenanya karena Imam Ahmad menilainya sebagai hadits yang dha’if. Namun, cacat ini tidaklah berat karena sebagian imam menilainya tsiqah. Di samping itu, hadits ini memiliki mutabi’. Pencantuman hadits ini oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya juga menunjukkan bahwa menurut beliau hadits ini shahih dan bahwasanya cacat yang terkandung di dalamnya tidaklah berat.

--------------------------

Sumber: Ilm Mushthalah Al-Hadiits, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimiin
Penerjemah: Ahmad S Marzuqi
ditulis ulang oleh Hasan Al-Jaizy

No comments:

Post a Comment