Wednesday, February 6, 2013

Cara Sejarawan Mendistorsi Sejarah


Cara Sejarawan Mendistorsi Sejarah

Berikut akan saya kemukakan beberapa cara atau metode yang digunakan para sejarawan dalam mendistorsi peristiwa-peristiwa penting seputar sejarah umat Islam.
1. Membuat-buat Cerita dan Berbohong
Para sejarawan mengarang kisah yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Contohnya, mereka menceritakan perihal Aisyah radhiyallahu anha yang bersujud syukur kepada Allah Ta’ala ketika menerima kabar tentang terbunuhnya Ali bin Abu Thalib radhiyallahu anh. Penuturan peristiwa ini bohong belaka.[1]
2. Menambah atau Mengurangi Suatu Kisah
Yang berbeda dalam hal ini adalah kisah yang disampaikan sahih, seperti peristiwa Saqifah. Cerita tentang Saqifah ini memang benar: Bahwasanya terjadi pertemuan antara Abu Bakr, Umar, dan Abu Ubaidah dari kalangan Muhajirin di satu sisi; dan Al-hubab bin Al-Mundzir, Sa’ad bin Ubadah, serta sahabat dari kalangan Anshar lainnya di sisi yang lain. Para sejarawan menambahkan atau mengurangi banyak hal dengan tujuan mendistorsi kejadian yang sebenarnya.
3. Menginterpretasi Suatu Kejadian secara Tidak Benar
Yakni, para sejarawan serampangan dalam menginterpretasi suatu peristiwa yang terjadi secara tidak benar. Interpretasi ini disesuaikan dengan hawa nafsu, keyakinan sesat dan bid’ah yang mereka anut.
4. Menampakkan Kesalahan dan Kekeliruan Suatu Riwayat
Kisah yang diriwayatkan sahih, tetapi para sejarawan menampakkan dan memfokuskan pada kesalahan-kesalahan yang disebutkan di dalamnya. Sampai-sampai, semua kebaikannya tertutupi.
5. Membuat Syair sebagai Penguat Peristiwa Bersejarah
Para sejarawan menggubah syair yang berisi celaan terhadap salah seorang sahabat dan menisbatkannya kepada Amiirul Mukminiin Ali bin Abu Thalib radhiyallahu anh, atau menisbatkannya kepada Ummul Mukminiin Aisyah radhiyallahu anha, atau menisbatkannya kepada Az-Zubair bin Al-Awwaam, atau kepada Thalhah bin Ubaidullah. Cara yang sama mereka lakukan pada syair yang dinisbatkan kepada Abdullah bin radhiyallahu anhuma berikut; di dalamnya dinyatakan bahwa dia berkata tentang Aisyah radhiyallahu anha:
Engkau memenggal baghal[2] kemudian unta
Dan jika ingin, engkau bisa menunggang gajah[3]
6. Mengarang Kitab serta Risalah Palsu
Seperti tentang peristiwa terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu anh. Ketika itu terjadi pemalsuan kitab-kitab (surat) atas nama Utsman, Aisyah, Ali, Thalhah dan Az-Zubair radhiyallahu anhum. Ini di luar karangan-karangan palsu lainnya, seperti Nahj Al-Balaaghah yang dinisbatkan kepada Ali bin Abu Thalib dan Al-Imaamah wa As-Siyaasah yang dinisbatkan kepada Ibnu Qutaibah.[4]
7. Memanfaatkan Kesamaan Nama
Sebagai contoh, perihal dua orang yang sama-sama bernama (mempunyai kun-yah) Ibnu Jarir:
(1) Muhammad bin Jarir bin Yazid Abu Ja’far Ath-Thabary, salah seorang imam Ahlus Sunnah (Sunni); dan
(2) Muhammad bin Jarir bin Rustum Abu Ja’far Ath-Thabary,  salahseorang imam Syi’ah.[5]
Para sejarawan menisbatkan kitab-kitab Ibnu Jarir yang beraliran Syi’ah kepada Ibnu Jarir yang berfaham Sunni, seperti Dalaa’il Al-Imaamah Al-Waadhihah wa Nuur Al-Mu’jizaat. Terlebih lagi, dua orang ini hidup pada tahun yang sama.
Nama (kun-yah) Ibnu Hajar juga dimiliki oleh dua orang:
(1) Ahmad bin Hajar Al-Asqalaany, seorang imam dalam ilmu hadits
(2) Ahmad bin Hajar Al-Haitamy, seorang imam dalam ilmu fiqh tetapi tidak mempunyai keahlian dalam ilmu hadits.
Maka tidak jarang mereka mengambil pensahihan Ibnu Hajar Al-Haitamy terhadap suatu riwayat, kemudian menisbatkannya kepada Ibnu Hajar Al-Asqalaany.



[1] Kisah ini disebutkan oleh Abul Faraj Al-Ashbahaany dalam Al-Aghaany (hal. 55). Abu Faraj sendiri seorang Syi’ah yang tertuduh sebagai pembohong, sebagaimana disebutkan pada biografinya dalam Taariikh Baghdaad dan Miizaan Al-I’tidaal. Kisa ini juga disebutkan oleh tokoh Syi’ah, At-Tijany, dalam kitabnya yang berjudul Fas’aluu Ahl Adz-Dzikr (hal. 97) tanpa menyebutkan sumbernya.
[2] Sejenis hewan peranakan kuda dan keledai
[3] Maksudnya, Aisyah menunggangi baghal lalu unta untuk berperang dan menimbulkan fitnah, bahkan jika menghendakinya bisa saja dia menunggangi gajah
[4] Lihat muqaddimah Ta’wiil Musykil Al-Qu’aan karya Ibnu Qutaibah, hal. 32, dengan tahqiiq As-Sayyid Ahmad Shaqir, serta muqaddimah kitab Al-Maisiir wa Al-Qidaah karya Ibnu Qitaibah dengan tahqiiq Muhibbuddin Al-Khatib
[5] Lisaan Al-Miizaan, dalam biografi Muhammad bin Jarir bin Rustum, VII/29

------------------------------------------------------

Sumber: Hiqbah Min At-Taariikh, Syaikh Dr. Utsman Al-Khamiis
dengan bantuan terjemah oleh Syafaruddin, Lc
ditulis ulang dengan beberapa perubahan oleh Hasan Al-Jaizy







No comments:

Post a Comment