Para
Muhadditsiin (Ulama Ahli Hadits) berbeda-beda pendapat dalam
mendefinisikan Hadits. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena
terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka masing-masing.
Dari perbedaan sifat peninjauan mereka itu, terlahirlah dua macam definisi
Hadits, yakni: definisi yang terbatas dan definisi yang luas di pihak lain.
I.
DEFINISI YANG TERBATAS
Definisi
Hadits yang terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh Jumhur Al-Muhadditsiin,
ialah:
ما أضيف إلى النبي صلى الله عليه وسبم قولا أو فعلا أو تقريرا أو
نحوها
Apa
yang disandarkan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam baik berupa
perkataan, perbuatan, pernyataan (taqriir) dan yang sebagainya.”[1]
Definisi
ini mengandung 4 macam unsur, yakni: perkataan, perbuatan, pernyataan dan
sifat-sifat atau keadaan-keadaan Nabi Muhammad yang lain, yang semuanya hanya
disandarkan kepada beliau saja. Tidak termasuk hal-hal yang disandarkan kepada
sahabat dan tidak pula kepada tabi’i.
Pemberitaan
terhadap hal-hal tersebut yang disandarkan kepada Nabi Muhammad disebut berita
yang marfu’, yang disandarkan kepada sahabat disebut berita yang mauquuf
dan yang disandarkan kepada tabi’i disebut berita yang maqthu’.
[1]
Perkataan
Yang
dimaksud dengan perkataan Nabi Muhammad adalah perkataan yang pernah beliau
ucapkan di berbagai bidang, seperti bidang hukum, akhlaq, aqidah, pendidikan
dan sebagainya.
Sebagai
contoh perkataan beliau yang mengandung hukum syariat:
إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya
amal-amal perbuatan itu tergantung pada niat, dan setiap orang itu memperoleh
sesuai yang yang ia niatkan.”[2]
Hukum
yang terkandung dalam sabda Nabi tersebut, ialah kewajiban niat dalam segala
amal perbuatan untuk mendapat pengakuan yang sah dari syara’.
Contoh
sabda Nabi yang mengandung akhlaq:
ثَلَاثٌ
مَنْ جَمَعَهُنَّ فَقَدْ جَمَعَ الْإِيمَانَ الْإِنْصَافُ مِنْ نَفْسِكَ وَبَذْلُ السَّلَامِ
لِلْعَالَمِ وَالْإِنْفَاقُ مِنْ الْإِقْتَارِ
“Tiga hal yang barangsiapa sanggup menghimpunnya, berarti telah mencakup keimanan yang sempurna, yakni: (1) Jujur terjadap diri sendiri, (2) Mengucapkan salam perdamaian kepada alam, dan (3) mendermakan apa yang menjadi kebutuhan umum.” [3]
Sabda
Nabi tersebut menganjurkan seseorang berakhlaq luhur, berkesadaran tinggi,
cinta perdamaian dan dermawan.
[2]
Perbuatan
Perbuatan
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam merupakan penjelasan praktis
terhadap peraturan-peraturan syariat yang belum jelas cara pelaksanaannya.
Misalnya:
cara shalat beliau dan cara menghadap qiblat dalam shalat sunnah di atas
kendaraan yang sedang berjalan. Telah dipraktekkan oleh Nabi dengan perbuatan
beliau di hadapan para sahabat.
Perbuatan
beliau dalam misal yang terakhir, dapat kita ketahui berdasarkan berita dari
Jabir bin Abdullah radhiyallahu anh:
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ
تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ
“Konon
Rasulullah shallallahu alahi wa sallam shalat di atas kendaraan (dengan
menghadap qiblat) menurut kendaraan itu menghadap. Apabila beliau hendak shalat
fardhu, beliau turun sebentar, lalu menghadap qiblat.”[4]
Adanya
pengecualian sebagian daripada perbuatan Rasulullah, tidaklah mengurangi
ketentuan tentang keseluruhan perbuatan Rasulullah menjadi nash syara’
yang harus diikuti dan diteladani oleh seluruh umat Islam, disebabkan mungkin
ada suatu dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan itu hanya spesifik bagi Nabi
saja. Perbuatan beliau yang tidak termasuk nash yang harus ditaati,
antara lain:
a.
Sebagian tindakan beliau yang ditunjuk oleh suatu dalil
yang khas, yang menegaskan bahwa perbuatan itu hanya spesifik untuk beliau
sendiri. Misalnya tindakan beliau atas dispensasi dari Allah, diperbolehkan
mengawini wanita lebih dari 4 orang, dan mengawini wanita tanpa memberikan
maskawin. Sebagai dalil adanya dispensasi mengawini wanita tanpa maskawin,
ialah firman Allah:
وَٱمْرَأَةًۭ مُّؤْمِنَةً إِن وَهَبَتْ نَفْسَهَا
لِلنَّبِىِّ إِنْ أَرَادَ ٱلنَّبِىُّ أَن يَسْتَنكِحَهَا خَالِصَةًۭ لَّكَ مِن دُونِ
ٱلْمُؤْمِنِينَ
“dan (Kami halalkan)perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya
kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan
untuk semua orang mukmin.”[5]
b.
Sebagian tindakan beliau yang berdasarkan suatu
kebijaksanaan semata-mata yang bertalian dengan soal-soal keduniaan, seperti
soal perdagangan, pertanian dan mengatur taktik perang. Pada suatu hari
Rasulullah pernah kedatangan seorang sahabat yang tidak berhasil dalam penyerbukan
putik kurma, meminta penjelasan kepada beliau, lalu beliau menjawab bahwa “engkau
lebih tahu mengenai urusan keduniaanmu”. Dan pada waktu perang Badr,
Rasulullah menempatkan suatu divisi tentara di suatu tempat, yang kemudian ada
seorang sahabat yang menanyakan kepada beliau, apakah penempatan itu atas petunjuk
dari Allah atau hanya semata-mata pendapat dan siasat beliau? Rasulullah
menjawabnya bahwa tindakannya itu hanya semata-mata menurut pendapat dan siasat
beliau. Akhirnya atas usul salah seorang sahabat, tempat tersebut dipindahkan
ke tempat lain yang lebih strategis.
c.
Sebagian perbuatan beliau pribadi sebagai manusia.
Seperti makan, minum, berpakaian dan lain sebagainya.
[3]
Taqriir
Arti
Taqrir Nabi, ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan
sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan
oleh para sahabat di hadapan beliau.
Contoh
taqrir beliau tentang perbuatan sahabat yang dilakukan di hadapannya,
ialah tindakan salah seorang sahabat bernama Khalid bin Walid, dalam salah satu
jamuan makan, menyajikan masakan daging hewan semacam biawak (الضَّبُّ) dan
mempersilahkan kepada Nabi untuk menikmatinya bersama para undangan. Beliau
menjawab:
لَا
وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ قَالَ خَالِدٌ فَاجْتَرَرْتُهُ
فَأَكَلْتُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ إِلَيَّ
“Tidak.
Berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung kaumku, maka aku jijik
padanya.”
Khalid
berkata, “Segera aku memotongnya dan memakannya, sedangkan Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam melihat kepadaku.”[6]
Tindakan
Khalid dan para sahabat yang menikmati daging tersebut, disaksikan oleh Nabi,
dan beliau tidak menyanggahnya. Keengganan beliau memakannya itu disebabkan
karena jijik.
Contoh
lain adalah diamnya beliau terhadap wanita yang pergi keluar rumah, berjalan di
jalanan pergi menuju masjid dan mendengarkan ceramah-ceramah yang memang
diundang untuk kepentingan suatu pertemuan.
Adapun
yang termasuk taqriir qauliyyah, yaitu apabila seorang sahabat berkata,
“Aku berbuat demikian atau sahabat lainnya berbuat demikian” di hadapan Rasul,
dan beliau tidak mencegahnya. Di samping adanya syarat, bahwa perkataan atau
perbuatan yang dilakukan oleh seorang sahabat itu tidak mendapat sanggahan dan
disandarkan sewaktu Rasulullah masih hidup, juga orang yang melakukan itu
hendaknya orang yang taat kepada agama Islam. Sebab diamnya Nabi terhadap apa
yang dilakukan atau diucapkan oleh orang kafir atau munafiq, bukan berarti
memberi persetujuan. Memang seringkali Nabi mendiamkan apa-apa yang dilakukan
oleh orang munafiq, lantaran beliau tahu, banyak benar petunjuk-petunjuk yang
tidak memberi manfaat padanya.
[4]
Sifat-sifat, keadaan-keadaan, dan himmah (hasrat) Rasulullah
Sifat-sifat
dan keadaan beliau yang termasuk unsur Hadits, adalah:
a.
Sifat-sifat beliau yang dilukiskan oleh para sahabat
dan ahli sejarah, seperti sifat-sifat dan bentuk jasmani beliau yang dilukiskan
oleh sahabat Anas bin Malik radhiyallahu anh sebagai berikut:
كان رسول الله أحسن الناس وجها وأحسنهم خلقا, ليس بالطويل ولا بالقصير
“Rasulullah itu adalah sebaik-baik manusia mengenai paras muka dan
bentuk tubuhnya. Beliau bukan orang tinggi dan bukan pula orang pendek.” [7]
b.
Silsilah-silsilah, nama-nama dan tahun kelahiran yang
telah ditetapkan oleh para sahabat dan ahli sejarah. Contoh mengenai tahun
kelahiran beliau adalah seperti apa yang dikatakan oleh Qais bin Mahramah radhiyallahu
anh:
ولدت أنا ورسول الله عام الفيل
“Aku dan Rasulullah
dilahirkan pada tahun gajah.”[8]
c. Himmah (hasrat) beliau yang belum sempat
direalisir. Misalnya hasrat beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 Asyura,
seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dikala Rasulullah berpuasa pada hari
Asyura dan memerintahkan untuk dipuasai, para sahabat menghadap ke Nabi seraya
berkata, “Ya Rasulullah, bahwa hari ini adalah hari yang diagungkan oleh
orang Yahudi dan Nasrani.” Rasulullah berkata, “Tahun yang akan datang,
insya Allah aku akan berpuasa tanggal sembilan.”[9]
Tetapi beliau tidak menjalankan
puasa di tahun depan, disebabkan beliau telah wafat.
Menurut Imam Syafi’I dan
rekan-rekannya, menjalankan himmah tersebut disunnahkan, karena ia
termasuk salah satu bagian dari sunnah, yakni: sunnah hammiyyah.
Asy-Syaukaany berpendapat bahwa yang
benar tidaklah demikian, yakni ia tidak termasuk sunnah. Sebab hamm itu
hanya melulu kehendak hati yang belum dilaksanakan dan tidak termasuk hal yang
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dikerjakan atau ditinggalkan.
Ringkasnya menurut definisi yang
terbatas yang telah dikemukakan oleh mayoritas Ahli Hadits tersebut di atas,
bahwa pengertian Hadits itu hanya terbatas kepada segala sesuatu yang di-marfu’-kan
(disandarkan) kepada Nabi Muhammad saja. Sedang segala sesuatu yang disandarkan
kepada sahabat, tabi’in dan tabi’ at-tabi’iin, tidak termasuk hadits.
Dengan memperhatikan macam-macam
unsur hadits dan manakah yang harus didahulukan mengamalkannya bila ada
pertentangan antara unsur-unsur tersebut, mayoritas Ahli Hadits membagi hadits
berturut-turut kepada:
a. Sunnah
Qauliyyah
b. Sunnah
Fi’liyyah
c. Sunnah
Taqriiriyyah
d. Sunnah
Hammiyyah
II. DEFINISI YANG LUAS
Definisi yang luas adalah
sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian Ahli Hadits, tidak hanya mencakup
sesuatu yang di-marfu’-kan kepada Nabi Muhammad saja, tetapi juga
perkataan, perbuatan dan taqriir yang disandarkan kepada sahabat dan
tabi’iy pun disebut Hadits. Dengan demikian hadits menurut definisi ini,
meliputi segala berita yang marfu’, mauquuf dan maqthuu’,
sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Mahfuuzh:
“Sesungguhnya hadits itu bukan hanya
yang di-marfu’-kan kepada Nabi saja, melainkan dapat pula disebutkan pada apa
yang mauquuf dan pada apa yang maqthuu’.”[10]
[1] Manhaj
Dzawi An-Nadzar, Muh. Mahfudz At-Tarmusy, hal. 7
[2]
H.R. Bukhary
[3]
H.R. Bukhary
[4]
H.R. Bukhary
[5]
Q.S. Al-Ahzab: 50
[6]
H.R. Bukhary dan Muslim
[7]
H.R. Bukhary dan Muslim
[8]
H.R. Tirmidzy
[9]
H.R. Muslim dan Abu Daud
[10] Manhaj
Dzawi An-Nadzar, At-Tarmusy, hal.7
-------------------------------------------------------
Sumber: Ikhtishar Musthalahul Hadits, Drs. Fathur Rahman
Ditulis dan ditata ulang oleh Hasan Al-Jaizy
No comments:
Post a Comment