Imam Ath-Thabary rahimahullah menerangkan sendiri metodenya dalam pencatatan sejarah melalui muqaddimah ada awal kitab tersebut. Maka alangkah baiknya apabila orang yang membaca kitab ini juga membaca muqaddimah-nya. Bahkan, semestinya orang yang ingin membaca suatu kitab membaca muqaddimah-nya terlebih dahulu agar mengetahui metode yang ditempuh penulisnya.
Imam Ath-Thabary rahimahullah dalam muqadiimah Taariikh-nya menulis;
وَلْيَعْلَمِ النَّاظِرُ فِي كِتَابِنَا هَذَا أَنَّ اعْتِمَادِي فِي كُلِّ مَا أَحْضَرْتُ ذِكْرَهُ فِيهِ مِمَّا شَرَطْتُ أَنِّي رَاسِمُهُ فِيهِ، إِنَّمَا هُوَ عَلَى مَا رُوِّيتُ مِنَ الْأخْبَارِ الَّتِي أَنَا ذَاكِرُهَا فِيهِ وَالْآثَارِ الَّتِي أَنَا مُسْنِدُهَا إِلَى رُوَاتِهَا، فَمَا يَكُنْ فِي كِتَابِي هَذَا مِنْ خَبَرٍ ذَكَرْنَاهُ عَنْ بَعْضِ الْمَاضِينَ، مِمَّا يَسْتَنْكِرُهُ قَارِئُهُ، أَوْ يَسْتَشْنِعُهُ سَامِعُهُ مِنْ أَجْلِ أَنَّهُ لَمْ يَعْرِفْ لَهُ وَجْهًا فِي الصِّحَّةِ، وَلَا مَعْنًى فِي الْحَقِيقَةِ؛ فَلْيَعْلَمْ أَنَّهُ لَمْ يُؤْتَ فِي ذَلِكَ مِنْ قِبَلِنَا، وَإِنَّمَا أُتِيَ مِنْ قِبَلِ بَعْضِ نَاقِلِيهِ إِلَيْنَا، إِنَّمَا أَدَّيْنَا ذَلِكَ عَلَى نَحْوِ مَا أُدِّيَ إِلَيْنَا
“Orang yang membaca kitab ini hendaknya mengetahui bahwa sandaran saya dalam menyebutkan segalanya yang diketengahkan di sini, yakni semua yang saya tulisa adalah berdasarkan khabar-khabar (hadits-hadits) yang saya riwayatkan sendiri serta atsar-atsar yang saya sandarkan kepada para perawinya. Jika di dalam kitab ini didapat cerita perihal orang-orang terdahulu, kemudian diingkari pembacanya atau dicela pendengarnya karena sama sekali jauh dari kesahihan, maka hendaknya dicamkan bahwa kekeliruan ini tidaklah datang dari kami, tetapi dari sebagian perawinya. Sebab, kami hanya menukilkannya sebagaimana apa yang disampaikan kepada kami.”[1]
Saya kira, dengan muqaddimah tersebut beliau sudah melaksanakan tanggung jawab ilmiahnya kepada pembaca. Karena, dia menegaskan di bagian lain, “Jika Anda menemukan suatu kabar yang diingkari dan tidak dapat diterima dari kitab saya ini, maka perhatikanlah dari siapa kami meriwayatkannya. Tanggung jawab ada pada perawi itu. Kewajiban saya hanyalah menyebutkan siapa-siapa yang menceritakan suatu peristiwa. Jika memang dia tsiqah, maka terimalah; namun jika tidak, maka jangan Anda terima.”
Seperti ini pulalah yang diterapkan ulama ahli hadits selain di dalam kitab Shahih AL-Bukhary dan Shahiih Muslim yang sengaja disusun untuk mengumpulkan hadits-hadits shahih saja. Misalnya jika Anda merujuk pada kitab Jaami’ At-Tirmidzy, Sunan Abu Daud, atau kitab-kitab hadits lainnya, maka Anda akan menemukan penyebutan sanad oleh mereka tanpa penegasan tentang kesahihannya. Maka itu, yang wajib Anda lakukan adalah melihat kembali sanadnya. Terimalah riwayat itu jika sanadnya memang sahih, dan tolaklah jika tidak demikian.
Perlu diketahui juga bahwa Ath-Thabary tidak bermaksud untuk menukil riwayat yang sahih saja dalam Taariikh-nya ini. Tetapi beliau hanya bermaksud menyebutkan nama-nama perawi yang menyampaikan riwayat terkait peristiwa-peristiwa sejarah kaum Muslimin kepadanya.
Ibnu Hajar rahimahullah juga pernah menyinggung metode penulisan tersebut seraya menjelaskan cara ulama terdahulu dalam menukil berita:
أَكْثَرُ الْمُحَدِّثِينَ فِي الْأَعْصَارِ الْمَاضِيَةِ مِنْ سَنَةِ مِائَتَيْنِ وَهَلُمَّ جَرًّا إِذَا سَاقُوا الْحَدِيثَ بِإِسْنَادِهِ، اعْتَقَدُوا أَنَّهُمْ تَبَرَّؤُوا مِنْ عُهْدَتِهِ
“Mayoritas ahli hadits pada masa lampau, yang hidup sejak tahun 200H dan seterusnya, meyakini telah lepas dari tanggung jawab setelah meriwayatkan suatu hadits dengan sanadnya.”[2]
Jadi, Imam Ath-Thabary rahimahullah pun tidak bertanggung jawab lagi terhadap periwayatan sejarahnya.
No comments:
Post a Comment