Monday, February 4, 2013

Apakah Hadits Adalah Sunnah? (Part Two)


Sunnah, pada dasarnya, tidak sama dengan Hadits. Mengikuti arti bahasanya, sunnah adalah jalan keagamaan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang tercermin dalam perilakunya yang suci. Apabila Hadits bersifat umum, meliputi sabda dan perbuatan Nabi, maka Sunnah khusus berhubungan dengan perbuatan-perbuatan beliau. Karena perbedaan dua pengertian ini, kadang-kadang kita mendapati ucapan ahli Hadits: Hadits menyalahi qiyas, sunnah dan ijma. Atau ucapan: “Imam dalam hadits”, “Imam dalam Sunnah”, “Imam dalam keduanya”.[1]

Yang lebih aneh lagi, kedua pengertian tersebut satu sama lain justru saling menguatkan. Seakan-akan berbeda sama sekali, sehingga sah saja bila Ibnu Nadiim menyebutkan satu kitab dengan judul: “Kitab Sunan dengan Dalil Hadits”

Ketika Islam memberi “jalan” dengan kata sunnah, orang-orang Arab tidak terkejut. Mereka sudah mengenalnya dengan arti ini, sebagaimana mereka mengenal lawan katanya, bid’ah.[2] Mereka paham sekali makna itu, sampai ketika disandarkan kepada asma Allah yang agung, seperti dalam firman-Nya, “Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelumnya.” (Surat Al-Ahzab: 62). Adapun orang-orang yang mendengar lafadz sunnah itu dari Nabi seperti dalam sabdanya, “Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku,” maka pada saat itu mereka tidak ragu lagi bahwa maksud kata itu adalah jalan dan cara Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam kehidupan beliau, baik yang bersifat khusus maupun umum.

Madinah Al-Munawwarah –seperti yang akan kita ketahui- adalah kota yang paling bersemangat membela sunnah Nabi. Sampai-sampai mendapat sebut Daar As-Sunnah (Negeri Sunnah). Di kota suci inilah buat pertama kali pengertian As-Sunnah menemukan bentuknya yang bersifat sosial politik, di samping bentuk keagamaan yang fundamental. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan bahwa,


مَنْ أَحْدَثَ فِي المَدِينَةِ حَدَثًا، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu yang baru di Madinah, maka ia akan mendapat kutukan Allah, malaikat dan seluruh manusia.”[3]

Hadits ini seolah-olah mengisyaratkan bahwa Allah dan Rasul-Nya lepas tangan dari seluruh hal yang memecah belah jama’ah, yang menanggalkan ketaatan dan yang memilih bid’ah daripada sunnah. Di sini, “sesuatu yang baru” identik dengan bid’ah. Kedua-duanya adalah lawan dari sunnah. Karena itu, hendaknya seorang ayah menasihati anaknya, “Wahai anakku! Berhati-hatilah, jangan membuat-buat hal baru (bid’ah).” Dan hendaknya si anak menuruti ayahnya dengan tetap mengikatkan diri pada sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang suci. Disebutkan perkataan:

وَلَمْ أَرَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَبْغَضَ إِلَيْهِ الحَدَثُ فِي الإِسْلاَمِ

“Dan aku tak melihat seorang pun dari sahabat Nabi yang kebenciannya melebihi kebencian terhadap bid’ah dalam Islam.”[4]
Alangkah cepat kaum Muslimin beralih dari makna lokal yang sempit kepada makna yang mencakup dan luas. Mereka tidak hanya takut mengada-adakan hal yang baru di Madinah –sebagai Negeri Sunnah- melainkan juga dalam mengada-adakan hal baru yang negatif bagi Islam sebagai keseluruhan, termasuk di negeri-negeri yang telah dicapai oleh dakwah Islamiah. Jadi, prinsip itu sudah berlaku umum dan universal. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah meletakkan prinsip itu dengan menyatakan:

شَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا

“Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan.”[5]

Beliau juga bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini apa-apa yang bukan termasuk di dalamnya, maka ia tertolak.”[6]

Prinsip Nabi yang jelas ini hanya mempunyai satu kesimpulan yang tegas, yaitu: sesuai dengan kadar ketakutan mengada-adakan hal baru dalam Islam, maka demikianlah hasrat untuk menjaga sunnah Rasulullah. Setiap orang yang mengaku mukmin, tetapi hati dan pandangannya tidak selalu terkait dengan pribadi Rasulullah, jiwa dan amalnya tidak diwarnai dengan akhlak Nabi dan tidak sesuai dengan sunnahnya, maka orang seperti  itu belum dapat dianggap benar-benar telah beriman dan tidak pula termasuk orang yang dekat dengan Allah. Dan jika orang seperti ini menekuni Hadits Nabi, mestinya bertambah kepatuhannya, sehingga ia takkan melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah. Bahkan ia seharusnya selalu berhati-hati dalam melangkah, dengan memahami lebih dahulu mana yang paling dekat dengan sunnah. Misalnya: menyingsingkan baju, mengetuk pintu untuk meminta izin kepada orang yang berhadas, mengucapkan salam dengan suara jelas tapi tidak melebihi batas yang dianjurkan, duduk sebentar sebelum meninggalkan majelis yang sudah bubar, segan bergabung di tengah hadirin atau di antara dua orang tanpa mendapat izin dari mereka, serta tindakan-tindakan lain yang bisa dirujuk dalam semua kitab sunnah.[7]

Sesudah masa turunnya wahyu dan masa kehidupan Rasulullah jauh berlalu, meniru orang salaf yang saleh menjadi bentuk peneladanan terhadap sunnah Nabi. Orang-orang yang meniru salaf yang saleh itu menyebut diri sebagai Salafiyyuun.[8]

Kehidupan mereka diabadikan untuk menghidupkan sunnah dan mematahkan bid’ah. [9] 

Para pemeluk agama yang baik di berbagai masa memandang mereka dengan penuh hormat. Hanya saja, mereka tidak luput dari ulah pembuat bid’ah, orang yang suka menuruti hawa nafsu para sufi yang tidak baik, dan para sastrawan yang sesat. Dalam keadaan demikian, kaum terus tetap melangkah di jalan yang benar, tanpa memperdulikan perlakuan umum itu. Merupakan kemuliaan tinggilah bagi mereka karena telah memelihara sunnah-sunnah Nabi pada saat orang lain menyia-nyiakannya.

Kendati di banyak kalangan sebutan sunnah lain dengan sebutan hadits, setidaknya anggapan adanya persamaan, atau kemiripan konotasi antara keduanya menghinggapi para kritikus Hadits (نُقَّادَ الحديث). Bukankah sunnah amaliyyah itu tidak lain daripada thariqah Nabi yang oleh beliau dikuatkan dengan sabda-sabdanya yang bijaksana, dan petunjuk-petunjuknya yang benar lagi terarah? Apakah topik sunnah itu berbeda dengan topik Hadits? Apakah keduanya tidak berputar pada poros yang sama? Apakah pada akhirnya kedua-duanya tidak bermuara kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, pada sabda-sabda beliau yang mengukuhkan perbuatan-perbuatannya dan pada perbuatan-perbuatan beliau yang menguatkan sabda-sabdanya?

Ketika pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di benak para kritikus, mereka tidak mempunyai keberanian mengemukakan suatu kebenaran yang tak terbantah: Apabila kita mengabaikan sumber penamaan keduanya, maka Sunnah dan Hadits adalah satu. Biarlah kebanyakan Ahli Hadits mengatakan, “Keduanya memiliki arti yang sama”.






[1] Misalnya pendapat Abdurrahman bin Mahdi bahwa Sufyan Ats-Tsaury adalah imam dalam hadits. Al-Auzaa’I adalah imam dalam Sunnah tapi bukan imam dalam hadits. Sedangkan Malik bin Anas adalah imam dalam keduanya sekaligus. (Lihat Az-Zarqaany ala Al-Muwaththa’, I/4)
[2] Al-Aghaany, VII/119 dan 114
[3] Al-Bukhary, Al-I’tisham, no.6
[4] At-Tirmidzy, I/15
[5] Ibnu Majah, I/17, no.45
[6] Abu Daud, IV/280, no. 4606
[7] Al-Jaami’ li Akhlaaq Ar-Raawy, II/22-29
[8] Al-Musytabah fi Asmaa Ar-Rijaal, Adz-Dzahaby, hal. 269
[9] Berdasarkan metode kaum orientalis dalam menghitung bagian-bagian dan meneliti rincian-rincian, Goldziher berusaha menghimpun data-data mengenai upaya menghidupkan sunnah pada berbagai masa. Namun, kami tidak menganggap perlu menuturkan hasil kajian tersebut. Yang jelas, usaha menghidupkan sunnah itu biasanya identik dengan upaya penyebarannya pada jiwa individu dan masyarakat. Lihat: Muhammedanisches Recht, in the Orie und Qirklick Keit, Rechtswissensechatt, VII, 409


dari Kitab علوم الحديث ومصطلحه - عرضٌ ودراسة karya Subhy Ash-Shaalih, dengan bantuan terjemah kitab Membahas Ilmu-ilmu Hadits

ditulis dan ditata ulang oleh Hasan Al-Jaizy


No comments:

Post a Comment