Sunnah,
pada dasarnya, tidak sama dengan Hadits. Mengikuti arti bahasanya, sunnah
adalah jalan keagamaan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam
yang tercermin dalam perilakunya yang suci. Apabila Hadits bersifat umum,
meliputi sabda dan perbuatan Nabi, maka Sunnah khusus berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan beliau. Karena perbedaan dua pengertian ini, kadang-kadang
kita mendapati ucapan ahli Hadits: Hadits menyalahi qiyas, sunnah dan ijma.
Atau ucapan: “Imam dalam hadits”, “Imam dalam Sunnah”, “Imam dalam
keduanya”.[1]
Yang
lebih aneh lagi, kedua pengertian tersebut satu sama lain justru saling
menguatkan. Seakan-akan berbeda sama sekali, sehingga sah saja bila Ibnu Nadiim
menyebutkan satu kitab dengan judul: “Kitab Sunan dengan Dalil Hadits”
Ketika
Islam memberi “jalan” dengan kata sunnah, orang-orang Arab tidak terkejut. Mereka
sudah mengenalnya dengan arti ini, sebagaimana mereka mengenal lawan katanya, bid’ah.[2] Mereka paham sekali makna
itu, sampai ketika disandarkan kepada asma Allah yang agung, seperti
dalam firman-Nya, “Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang
telah terdahulu sebelumnya.” (Surat Al-Ahzab: 62). Adapun orang-orang yang
mendengar lafadz sunnah itu dari Nabi seperti dalam sabdanya, “Hendaklah
kalian berpegang teguh pada sunnahku,” maka pada saat itu mereka tidak ragu
lagi bahwa maksud kata itu adalah jalan dan cara Nabi shallallahu alaihi wa
sallam dalam kehidupan beliau, baik yang bersifat khusus maupun umum.
Madinah
Al-Munawwarah –seperti yang akan kita ketahui- adalah kota yang paling
bersemangat membela sunnah Nabi. Sampai-sampai mendapat sebut Daar As-Sunnah
(Negeri Sunnah). Di kota suci inilah buat pertama kali pengertian As-Sunnah
menemukan bentuknya yang bersifat sosial politik, di samping bentuk keagamaan
yang fundamental. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan
bahwa,
مَنْ أَحْدَثَ فِي المَدِينَةِ حَدَثًا، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ
اللَّهِ وَالمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Barangsiapa yang
mengada-adakan sesuatu yang baru di Madinah, maka ia akan mendapat kutukan
Allah, malaikat dan seluruh manusia.”[3]
Hadits
ini seolah-olah mengisyaratkan bahwa Allah dan Rasul-Nya lepas tangan dari
seluruh hal yang memecah belah jama’ah, yang menanggalkan ketaatan dan yang
memilih bid’ah daripada sunnah. Di sini, “sesuatu yang baru” identik
dengan bid’ah. Kedua-duanya adalah lawan dari sunnah. Karena itu,
hendaknya seorang ayah menasihati anaknya, “Wahai anakku! Berhati-hatilah,
jangan membuat-buat hal baru (bid’ah).” Dan hendaknya si anak menuruti
ayahnya dengan tetap mengikatkan diri pada sunnah Nabi shallallahu alaihi wa
sallam yang suci. Disebutkan perkataan:
وَلَمْ أَرَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَبْغَضَ إِلَيْهِ الحَدَثُ فِي الإِسْلاَمِ
“Dan aku tak
melihat seorang pun dari sahabat Nabi yang kebenciannya melebihi kebencian
terhadap bid’ah dalam Islam.”[4]
Alangkah
cepat kaum Muslimin beralih dari makna lokal yang sempit kepada makna yang
mencakup dan luas. Mereka tidak hanya takut mengada-adakan hal yang baru di
Madinah –sebagai Negeri Sunnah- melainkan juga dalam mengada-adakan hal baru
yang negatif bagi Islam sebagai keseluruhan, termasuk di negeri-negeri yang
telah dicapai oleh dakwah Islamiah. Jadi, prinsip itu sudah berlaku umum dan
universal. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah meletakkan
prinsip itu dengan menyatakan:
شَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا
“Seburuk-buruk
perkara adalah yang diada-adakan.”[5]
Beliau
juga bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ
فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini apa-apa yang bukan termasuk di
dalamnya, maka ia tertolak.”[6]
Prinsip
Nabi yang jelas ini hanya mempunyai satu kesimpulan yang tegas, yaitu: sesuai
dengan kadar ketakutan mengada-adakan hal baru dalam Islam, maka demikianlah
hasrat untuk menjaga sunnah Rasulullah. Setiap orang yang mengaku mukmin,
tetapi hati dan pandangannya tidak selalu terkait dengan pribadi Rasulullah,
jiwa dan amalnya tidak diwarnai dengan akhlak Nabi dan tidak sesuai dengan
sunnahnya, maka orang seperti itu belum
dapat dianggap benar-benar telah beriman dan tidak pula termasuk orang yang
dekat dengan Allah. Dan jika orang seperti ini menekuni Hadits Nabi, mestinya
bertambah kepatuhannya, sehingga ia takkan melakukan sesuatu yang tidak
dilakukan Rasulullah. Bahkan ia seharusnya selalu berhati-hati dalam melangkah,
dengan memahami lebih dahulu mana yang paling dekat dengan sunnah. Misalnya:
menyingsingkan baju, mengetuk pintu untuk meminta izin kepada orang yang
berhadas, mengucapkan salam dengan suara jelas tapi tidak melebihi batas yang
dianjurkan, duduk sebentar sebelum meninggalkan majelis yang sudah bubar, segan
bergabung di tengah hadirin atau di antara dua orang tanpa mendapat izin dari
mereka, serta tindakan-tindakan lain yang bisa dirujuk dalam semua kitab
sunnah.[7]
Sesudah
masa turunnya wahyu dan masa kehidupan Rasulullah jauh berlalu, meniru orang
salaf yang saleh menjadi bentuk peneladanan terhadap sunnah Nabi. Orang-orang
yang meniru salaf yang saleh itu menyebut diri sebagai Salafiyyuun.[8]
Kehidupan
mereka diabadikan untuk menghidupkan sunnah dan mematahkan bid’ah. [9]
Para pemeluk agama yang
baik di berbagai masa memandang mereka dengan penuh hormat. Hanya saja, mereka
tidak luput dari ulah pembuat bid’ah, orang yang suka menuruti hawa
nafsu para sufi yang tidak baik, dan para sastrawan yang sesat. Dalam keadaan
demikian, kaum terus tetap melangkah di jalan yang benar, tanpa memperdulikan
perlakuan umum itu. Merupakan kemuliaan tinggilah bagi mereka karena telah
memelihara sunnah-sunnah Nabi pada saat orang lain menyia-nyiakannya.
Kendati
di banyak kalangan sebutan sunnah lain dengan sebutan hadits, setidaknya
anggapan adanya persamaan, atau kemiripan konotasi antara keduanya menghinggapi
para kritikus Hadits (نُقَّادَ الحديث). Bukankah sunnah amaliyyah itu
tidak lain daripada thariqah Nabi yang oleh beliau dikuatkan dengan
sabda-sabdanya yang bijaksana, dan petunjuk-petunjuknya yang benar lagi
terarah? Apakah topik sunnah itu berbeda dengan topik Hadits? Apakah keduanya
tidak berputar pada poros yang sama? Apakah pada akhirnya kedua-duanya tidak
bermuara kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, pada sabda-sabda
beliau yang mengukuhkan perbuatan-perbuatannya dan pada perbuatan-perbuatan
beliau yang menguatkan sabda-sabdanya?
Ketika
pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di benak para kritikus, mereka tidak
mempunyai keberanian mengemukakan suatu kebenaran yang tak terbantah: Apabila
kita mengabaikan sumber penamaan keduanya, maka Sunnah dan Hadits adalah satu.
Biarlah kebanyakan Ahli Hadits mengatakan, “Keduanya memiliki arti yang sama”.
[1]
Misalnya pendapat Abdurrahman bin Mahdi bahwa Sufyan Ats-Tsaury adalah imam
dalam hadits. Al-Auzaa’I adalah imam dalam Sunnah tapi bukan imam dalam hadits.
Sedangkan Malik bin Anas adalah imam dalam keduanya sekaligus. (Lihat Az-Zarqaany
ala Al-Muwaththa’, I/4)
[2] Al-Aghaany,
VII/119 dan 114
[3] Al-Bukhary,
Al-I’tisham, no.6
[4] At-Tirmidzy,
I/15
[5] Ibnu
Majah, I/17, no.45
[6] Abu
Daud, IV/280, no. 4606
[7] Al-Jaami’
li Akhlaaq Ar-Raawy, II/22-29
[8] Al-Musytabah
fi Asmaa Ar-Rijaal, Adz-Dzahaby, hal. 269
[9]
Berdasarkan metode kaum orientalis dalam menghitung bagian-bagian dan meneliti
rincian-rincian, Goldziher berusaha menghimpun data-data mengenai upaya
menghidupkan sunnah pada berbagai masa. Namun, kami tidak menganggap perlu
menuturkan hasil kajian tersebut. Yang jelas, usaha menghidupkan sunnah itu
biasanya identik dengan upaya penyebarannya pada jiwa individu dan masyarakat.
Lihat: Muhammedanisches Recht, in the Orie und Qirklick Keit,
Rechtswissensechatt, VII, 409
dari Kitab علوم الحديث ومصطلحه - عرضٌ ودراسة karya Subhy Ash-Shaalih, dengan bantuan terjemah kitab Membahas Ilmu-ilmu Hadits
ditulis dan ditata ulang oleh Hasan Al-Jaizy
No comments:
Post a Comment