Tuesday, February 5, 2013

Bagaimana Kita Membaca Sejarah?


Kita harus membaca sejarah seperti halnya membaca hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Tatkala hendak membaca hadits-hadits beliau, tentu saja kita mengklarifikasi riwayatnya terlebih dahulu; apakah sanadnya sahih, atau tidak? Tidak mungkin riwayat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam diketahui benar atau tidaknya tanpa melalui penelitian sanad dan matan. Karenanya, para ulama memperhatikan hadits dan perawinya. Mereka mengumpulkan setiap redaksi hadits yang diriwayatkan perawi, memilahnya, menilainya, dan memisahkan yang sahih dari yang dha’if. Dengan metode ini, hadits-hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  bisa dibersihkan dari cela, kebohongan dan hal buruk semisal yang disisipkan padanya.

Akan tetapi, riwayat-riwayat terkait sejarah amat berbeda. Terkadang, kita menemukan riwayat-riwayat yang tak bersanad. Terkadang pula, kita menemukan sanadnya tetapi biografi para perawi riwayat itu tak ditemukan. Sering juga kita tidak menemukan jarh (kritik) ataupun ta’dil (sanjurngan) ulama terhadap perawinya terkait kredibilitas periwayatnnya. Alhasil, kita kesulitan untuk menghukumi riwayat tentang sejarang tersebut dikarenakan tidak mengetahui keadaan sebagian perawinya. Dengan kata lain, meneliti keotentikan sejarah lebih sulit daripada keotentikan hadits. Oleh sebab itu, kita tidak boleh menyepelekannya. Justru, kita harus mengklarifikasi dan mengetahui cara pengambilan riwayat sejarah yang sahih.


Mungkin ada yang berpendapat, dengan standar penilaian demikian berarti banyak sejarah kita yang akan hilang. Pendapat tersebut dapat kita bantah. Sejarah kita takkan hilang sebanyak sangkaan Anda. Karena, banyak riwayat sejarah yang dibutuhkan disebutkan beserta sanadnya. Baik sanadnya itu disebutkan dalam kitab sejarah, seperti Taariikh Ath-Thabary; dalam kitab hadits, seperti Shahiih Al-Bukhary, Musnad Ahmad dan Jaami’ At-Tirmidzy; dalam kitab-kitab Mushannaf, seperti Mushannaf Ibn Abi Syaibah; dalam kitab-kitab tafsir yang menyebutkan riwayat sejarah disertai sanadnya, seperti Tafsiir Ibn Jariir dan Tafsiir Ibn Katsiir; maupun dalam kitab-kitab yang secara khusus berbicara tentang peristiwa-peristiwa sejarah tertentu, seperti Hurrub Ar-Riddah karya Al-Kula’i atau kitab singkat berjudul Taariikh Khaliifah Ibn Khayyaath.

Intinya, kita tidak boleh menyerah untuk menemukan sanad dari riwayat-riwayat sejarah yang beredar saat ini. Kalaupun kita tidak menemukan sanadnya, kita tetap mempunyai pedoman umum, khususnya berkaitan dengan para sahabat; yaitu pujian Allah Ta’ala dan sanjungan Rasul-Nya kepada mereka radhiyallahu anhum. Dan itu menunjukkan bahwa pada hakikatnya mereka adalah orang-orang saleh. Maka, setiap riwayat yang mengandung celaan terhadap para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam harus dilihat sanadnya dahulu. Jika memang sahih, maka kita lihat penafsiran dan keterangannya. Namun jika sanadnya dha’if, maka kita berpegang pada kaidah awal yaitu semua sahabat adalah saleh.

Jadi, ketika membaca sejarah, kita harus bersikap teliti, sebagaimana tatkala membaca hadits. Apalagi jika bacaan tersebut terkait dengan sejarah pokok umat Islam, yaitu sejarah para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan:

لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ مَعَ الْإِنْسَانِ أُصُولٌ كُلِّيَّةٌ تُرَدُّ إِلَيْهَا الْجُزْئِيَّاتُ؛ لِيَتَكَلَّمَ بِعِلْمِ وَعَدْلٍ، ثُمَّ يَعْرِفَ الْجُزْئِيَّاتِ كَيْفَ وَقَعَتْ وَإِلَّا فَيَبْقَى فِي كَذِبٍ وَجَهْلٍ فِي الْجُزْئِيَّاتِ، وَجَهْلٍ وَظُلْمٍ فِي الْكُلِّيَّاتِ، فَيَتَوَلَّدُ فَسَادٌ عَظِيمٌ

“Seseorang harus mempunyai pegangan atau pedoman umum sebagai sumber penyandaran hal-hal yang bersifat parsial dan lebih rinci, agar dia bisa berbicara berdasarkan ilmu dan objektif, di samping mengetahui bagaimana hal-hal itu sampai terjadi. Jika tidak demikian, maka dia akan mudah terhasut oleh kedustaan dan kebodohan mengenai masalah-masalah parsial tersebut, dan tetap bodoh terhadap pedoman umumnya. Dan bisa dipastikan hal itu akan melahirkan kesimpulan (pemahaman) yang sangat kacau.”[1]

Ironisnya, dewasa ini orang-orang justru gemar membaca tulisan modern mengenai sejarah yang hanya memperhatikan keindahan cerita atau melogiskan situasi dan kondisi atau keduanya sekaligus, tanpa memperhatikan sahih tidaknya riwayat-riwayat yang dinukil, seperti buku-buku karya Abbas Al-Aqqad[2], Khalid Muhammad Khalid[3], Thaaha Husain[4], George Zaidan seorang Nashrani[5], atau buah tangan tokoh-tokoh masa kini lainnya.

Mereka, para penulis yang tersebutkan tadi, hanya memperhatikan keterkaitan alur, keunikan kisah, dan keindahan penyusunan ketika berbicara tentang sejarah. Mereka tidak memperhatikan apakah kisah-kisah itu dinukilkan secara sahih atau tidak. Sebagian mereka bahkan sengaja mendistorsi kisah tersebut. Bagi mereka, yang terpenting adalah menyajikan kisah yang enak dibaca oleh Anda.




[1] Majmuu’ Al-Fataawa, XIX/203
[2] Salah satu karyanya berjudul Silsilah Al-Abqariyyaat
[3] Di antara karyanya berjudul Khulafaa’ Ar-Rasuul dan juga Rijaal Haula Ar-Rasuul
[4] Di antara karyanya berjudul Mau’qiah Al-Jamal, Ali wa Banuuhu, dan Al-Fitnah Al-Kubraa
[5] Salah satu karyanya berjudul Taariikh At-Tamaddun Al-Islaamy

------------------------------------

Sumber: Hiqbah Min At-Taariikh, Syaikh Dr. Utsman Al-Khamiis
Dibantu dengan terjemahan oleh Syafaruddin, Lc.
Ditulis dan ditata ulang oleh Hasan Al-Jaizy

No comments:

Post a Comment