Kalau
kita memakai pendapat yang dominan di kalangan Ahli Hadits, terutama dari
angkatan baru (المتأخرون), maka kita akan tahu bahwa sesungguhnya Hadits dan Sunnah itu
memiliki pengertian yang sama. Keduanya bisa digunakan satu sama lain.
Masing-masing (Hadits atau Sunnah) berkaitan dengan ucapan, perbuatan, atau
penetapan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Namun, jika keduanya
dikembalikan kepada asal-usul kesejarahannya, ternyata terdapat sedikit
perbedaan antara keduanya dalam penggunaan, baik dari segi bahasa maupun
istilah.
Hadits
–sebagaimana tinjauan Abdul Baqa’- adalah ism (kata benda) dari at-tahdiits
(التَّحْدِيثِ) yang berarti pembicaraan. Kemudian didefinisikan sebagai
ucapan, perbuatan atau penetapan yang dinisbatkan kepada Nabi shallallahu
alaihi wa sallam.[1] Arti “pembicaraan” ini
telah dikenal oleh masyarakat Arab di zaman Jahiliyyah sejak mereka menyatakan “hari-hari
mereka yang terkenal” dengan sebutan ahaadiits (لأحاديث).[2] Barangkali Al-Farraa’
telah memahami arti ini ketika berpendapat bahwa mufrad (bentuk
singular) kata ahaadiits adalah uhduutsah (أُحْدُوثَةٌ).
Lalu kata ahaadiits itu dijadikan jamak dari kata Hadits.[3]
Dari
sini, populer ungkapan shaara uhduutsah (صَارَ أُحْدُوثَةً)
dan shaara hadiitsan (صَارَ حَدِيثًا) yang berarti ‘dia
menjadi buah pembicaraan’, jika dia dijadikan pepatah. Penyair Abu Kildah
menggunakan kata matsal (pepatah) dan uhduutsah dalam sebaris
puisinya, seolah-olah menunjukkan kesamaan arti keduanya:
وَلاَ تُصْبِحُوا أُحْدُوثَةً مِثْلَ قَائِلٍ
... بِهِ يَضْرِبُ الأَمْثَالَ مَنْ يَتَمَثَّلُ
Janganlah
menjadi buah pembicaraan seperti pembicara
Betapapun
materi Hadits diubah-ubah, kita selalu dapat menemukan arti “pembicaraan”
secara jeas di dalamnya, termasuk dalam firman Allah Ta’ala:
فَلْيَأْتُوا۟ بِحَدِيثٍۢ مِّثْلِهِۦٓ
“Maka hendaklah
mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Qur'an itu”[5]
Dan
firman Allah:
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا
“Allah telah
menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur'an yang serupa (mutu
ayat-ayatnya)”[6]
Ada
sejumlah ulama yang merasakan adanya arti “baru” dalam kata Hadits lalu mereka
menggunakannya sebagai lawan kata qadiim (lama), dengan memaksudkan qadiim
sebagai Kitab Allah, sedangkan yang “baru” ialah apa yang disandarkan kepada
Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Dalam Syarah Al-Bukhary,
Syaikhul Islam Ibnu Hajar berkata,
المُرَادُ بِالْحَدِيثِ فِي عُرْفِ الشَّرْعِ: مَا يُضَافُ
إِلَى النَّبِيِّ - صَلََّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَكَأَنَّهُ أُرِيدَ بِهِ
مُقَابَلَةُ الْقُرْآنِ لأَنَّهُ قَدِيمٌ
“Yang dimaksud
dengan Hadits menurut pengertian syara’ adalah apa yang disandarkan kepada Nabi
shallallahu alaihi wa sallam. Dan hal itu seakan-akan dimaksudkan sebagai
bandingan Al-Qur’an adalah qadiim.”[7]
Ini
menerangkan dengan sangat jelas kepada kita akan keengganan sebagian besar
ulama menggunakan nama Hadits untuk Kitab Allah, atau mengganti “Kalam Allah”
dengan “Hadits Allah”. Bahkan dalam Sunan Ibnu Majah terdapat sebuah
riwayat Hadits Nabi yang nyaris memastikan keharusan sikap dan tata krama
tersebut. Bersumber dari Abdullah bin Mas’ud, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا هُمَا اثْنَتَانِ: الْكَلاَمُ وَالْهَدْيُ.
فَأَحْسَنُ الْكَلاَمِ كَلاَمُ اللَّهِ، وَأَحْسَنُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ
“Sesungguhnya
hanya ada dua: kalam dan petunjuak. Sebaik-baik Kalam adalah Kalam Allah dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad.”[8]
Kalau
kita menjumpai dalam kebanyakan kitab Sunan, ada ungkapan:
إِنَّ أَحْسَنَ الحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ
“Sesungguhnya
sebaik-baik hadits (perkataan) adalah kitab Allah.”
Lalu
kita menemukan Ibnu Majah sendiri meriwayatkan “Sebaik-baik kalam…”,
maka tahulah kita bahwa tidak mustahil wara’ (sikap menghindar dan tata
krama) itulah yang mendorongnya memilih ungkapan tersebut. Sedikitnya dasar
pegangan kita untuk itu adalah bahwa di kalangan ulama ada orang yang merasa
berat menggunakan kata Hadits untuk Kitab Allah yang qadiim.
Nabi
shallallahu alaihi wa sallam sendiri menamakan sabdanya sebagai Hadits.
Dan agaknya dengan penamaan itu beliau membedakan apa yang disandarkan kepada
beliau dengan yang lainnya, sehingga seakan-akan beliaulah yang meletakkan
dasar-dasar bagi penamaan Hadits selanjutnya.
Suatu
hari, Abu Hurairah datang kepada beliau untuk menanyakan tentang orang yang
paling berbahagia memperoleh syafaat beliau pada hari kiamat kelak. Beliau
waktu itu menyatakan bahwa beliau tahu tak seorang pun pernah menanyakan Hadits
(pembcaraan) ini sebelum Abu Hurairah. Itu adalah karena antusiasmenya dalam
mencari Hadits.[9]
bersambung....
bersambung....
[1] Kulliyyat
Abil Baqa’, hal. 152
Abul Baqa’ adalah Ayyub bin Musa Al-Husainy Al-Quramy
Al-Kufawy. Dia seorang qadhi’ bermadzhab Hanafy di Quds. Wafat tahun 1093 H.
[2] Futuuh
Al-Buldaan, Al-Baladziry, hal. 29
[3] Qawaaid
At-Tahdiits, hal. 35
[4] Al-Aghaany,
21/150; 10/120
[5] Q.S.
Ath-Thuur: 34
[6]
Q.S. Az-Zumar: 23
[7] At-Tadriib,
hal. 4
[8]
Ibnu Majah, no. 46
[9] Al-Bukhary,
Kitab Ar-Raqaaq, no. 51
dari Kitab علوم الحديث ومصطلحه - عرضٌ ودراسة karya Subhy Ash-Shaalih, dengan bantuan terjemah kitab Membahas Ilmu-ilmu Hadits
ditulis dan ditata ulang oleh Hasan Al-Jaizy
No comments:
Post a Comment