Kita
tidak berani mengatakan bahwa sebelum Islam bangsa Arab tidak mengerti tulis
menulis dan tidak membiasakannya, karena kelangkaan sarana yang ada dan
kepercayaan mereka terhadap ingatan dalam memelihara warisan cerita serta karya
sastranya. Suatu hal yang tak dapat disangksikan, bahwa bagian utara Jazirah
Arab sudah mengenal baca-tulis. Makkah, sebagai kota perdagangan, menjadi saksi
adanya orang-orang yang dapat membaca dan menulis, lebih banyak daripada di
Madinah. Kami sungguh tidak habis fikir, bila ada yang mengabarkan bahwa di
Makkah pada waktu itu hanya terdapat beberapa puluh orang saja yang mampu
membaca dan menulis.[1][2]
Karena, kalaupun cerita
itu benar sanadnya, tentu tidak berdasarkan perhitungan secara mendetail atau
penelitian menyeluruh. Jadi, kandungan khabar itu hanyalah perkiraan
spekulatif yang tidak meyakinkan (دلالة ظنية غامضة). Hanya saja,
kita memang tidak memiliki bukti-bukti dan dalil-dalil –baik aqli maupun
naqli- yang bisa menguatkan dugaan kami akan banyaknya orang Arab pada
masa itu yang dapat membaca dan menulis.
Yang
mendorong kami berpanjang lebar membicarakan soal tulis-menulis dan keyakinan
tentang banyaknya orang yang mampu baca-tulis di Semenanjung Arab (شبه الجزيرة العربية),
hanyalah karena banyak di antara kita yang bertindak bodoh dan membabi buta
mengikuti kaum orientalis (المستشرقون) yang menganggap bahwa predikat ummiyyiin
kepada bangsa Arab dalam Qur’an [3] tidak menafikan
(meniadakan) pengetahuan baca-tulis mereka. Dan Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wa sallam disebut ummiy karena beliau adalah Nabi orang-orang
ummiy penyembah berhala, yang
tidak membenarkan adanya rasul yang diutus Allah Ta’ala dan tidak membenarkan kitab yang Dia turunkan.
Lalu mereka menulis satu kitab dengan tangan sendiri.[4]
Nyatanya,
perangkaian yang membingungkan antara predikat ummiy untuk menyifati
Nabi dengan ummiyyiin untuk orang-orang Arab, sama sekali tidak logis
dan tidak dapat dibenarkan. Hal ini baik dilihat dari segi bahasa maupun dari
sudut hubungan kalimat dalam Al-Qur’an, di mana satu lafadz seharusnya
ditafsirkan dengan satu makna, bukan dengan dua makna yang berlainan. Atau,
yang dimaksud dengan ummiy adalah orang yang tidak tahu syariat Ilahi,
atau orang yang tak mengerti baca tulis. Dari sini, terungkap kekeluruan para
ahli tafsir yang menerangkan sifat ke-ummiy-an Nabi sebagai
ketidakmampuan membaca dan menulis. Kekeliruan kaum orientalis malah
bertambah-tambah. Karena, takwil mereka didasari atas pendapat lemah yang
dibagi menjadi dua, kemudian mereka percayai sebagian dan mengingkari sebagian
yang lain, dan berikutnya mengemukakan pendapat yang kekanak-kanakan: Orang
Arab –menurut mereka- dikatakan ummiy adalah lantara kebodohan mereka
terhadap syariat Tuhan. Sedangkan Nabi disebut ummiy, dinisbatkan kepada
orang-orang Arab yang bodoh itu, karena beliaulah yang mengajar mereka tentang
syariat Allah. Jadi, beliau adalah Nabi orang-orang bodoh, atau Nabi orang-orang
ummiy itu!
Yang
menyelamatkan kita dari igauan ini justru kejelasan nash Al-Qur’an itu
sendiri. Nash itu tidak memerlukan takwil. Kata ummi –baik
sebagai sifat orang Atab, maupun sebagai sifat Nabi- maksudnya tidak lain
adalah: orang yang tidak mengerti baca-tulis. Arti kata ini difahami oleh
sebagian besar ahli tafsir dab dipegang ulama umat hingga hari ini[5]
Dengan
demikian, tidaklah berlebih-lebihan untuk mengatakan orang Arab sebagai ummiy.
Karena ummiy dalam arti tidak tahu baca tulis memang dominan pada
kebanyakan orang Arab. Yang sungguh berlebih-lebihan adalah bahwa tulis-menulis
dan sarana-sarananya telah dikenal secara meluas di kalangan non Arab. Begitu
pula anggapan bahwa mereka tdak bodoh dalam hal tulis-menulis, melainkan bodoh
terhadap syariat Allah. Karena, tidak ada seorang peneliti pun yang
mendatangkan bukti atas pendapat yang tidak bermutu ini.
[1] Teks: إِلاَّ بِضْعَةَ
عَشَرَ رَجُلاً يَقْرَؤُونَ وَيَكْتُبُونَ
[2] Sebagai contoh
lihatlah Shahiifah Hammam bin Munabbih, hal.3, bagaimana Dr. Humaidullah
selalu mengulang-ulang khabar ini dengan rasa puas, kemudian bandingkan
dengan: H. Lammens, La Mecque a la Veille de I’Hegire, Beirut 1924, hal.
122. Dan para ahli sejarah gemar sekali mengulang-ulang ungkapan ini: “Ketika
itu tulis-menulis di Arab sangat sedikit.” (Ibnu Sa’ad, 3/2, 148)
[3] Ayat 2 Surat
Al-Jumu’ah:
هُوَ ٱلَّذِى
بَعَثَ فِى ٱلْأُمِّيِّۦنَ رَسُولًۭا مِّنْهُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِهِ
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul
di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka.”
[4] Penafsiran ummiyyiin seperti ini dapat
ditemukan dalam riwayat Ath-Thabary dari Ibnu Abbas (I/296) ketika menerangkan
firman Allah:
وَمِنْهُمْ
أُمِّيُّونَ لَا يَعْلَمُونَ ٱلْكِتَٰبَ إِلَّآ أَمَانِىَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
“Dan di antara mereka
ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al Kitab (Taurat), kecuali dongengan
bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.” (Q.S. Al-Baqarah: 78)
Dari penakwilan semacam
ini, kaum orientalis menemukan alasan bagi anggapan mereka bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam sebenarnya bisa membaca dan menulis. Sifat ummiy
pada Nabi, tidak menafsirkan pengetahuan baca tulis. Lihat: Paret, Encycl,
de I’Islam, IV/1070, DAN Horo Rovitz, Koranische Untersuchugen, hal.
52. Sebaiknya kaum orientalis membaca Tafsiir Ath-Thabary, supaya mereka
tahu bahwa pendapat mereka lemah.
[5] Lihat: Ar-Raudh Al-Anfy Sirat Ibn Hisyaam,
As-Suhaily, II/92 dan Thabaqaat bin Sa’ad, II/14/
----------------------------------------------
Sumber: Kitab Uluum Al-Hadiits wa Musthalahaatuh – Ardh wa Diraasah, Subhy Ash-Shalih, hal 14-15
Diketik ulang dengan sedikit perubahan oleh Hasan Al-Jaiyz
No comments:
Post a Comment