Sunday, February 3, 2013

Pengetahuan Orang Arab Tentang Tulis-Menulis Sebelum Islam


Kita tidak berani mengatakan bahwa sebelum Islam bangsa Arab tidak mengerti tulis menulis dan tidak membiasakannya, karena kelangkaan sarana yang ada dan kepercayaan mereka terhadap ingatan dalam memelihara warisan cerita serta karya sastranya. Suatu hal yang tak dapat disangksikan, bahwa bagian utara Jazirah Arab sudah mengenal baca-tulis. Makkah, sebagai kota perdagangan, menjadi saksi adanya orang-orang yang dapat membaca dan menulis, lebih banyak daripada di Madinah. Kami sungguh tidak habis fikir, bila ada yang mengabarkan bahwa di Makkah pada waktu itu hanya terdapat beberapa puluh orang saja yang mampu membaca dan menulis.[1][2]

Karena, kalaupun cerita itu benar sanadnya, tentu tidak berdasarkan perhitungan secara mendetail atau penelitian menyeluruh. Jadi, kandungan khabar itu hanyalah perkiraan spekulatif yang tidak meyakinkan (دلالة ظنية غامضة). Hanya saja, kita memang tidak memiliki bukti-bukti dan dalil-dalil –baik aqli maupun naqli­- yang bisa menguatkan dugaan kami akan banyaknya orang Arab pada masa itu yang dapat membaca dan menulis.

Yang mendorong kami berpanjang lebar membicarakan soal tulis-menulis dan keyakinan tentang banyaknya orang yang mampu baca-tulis di Semenanjung Arab (شبه الجزيرة العربية), hanyalah karena banyak di antara kita yang bertindak bodoh dan membabi buta mengikuti kaum orientalis (المستشرقون)  yang menganggap bahwa predikat ummiyyiin kepada bangsa Arab dalam Qur’an [3] tidak menafikan (meniadakan) pengetahuan baca-tulis mereka. Dan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam disebut ummiy karena beliau adalah Nabi orang-orang ummiy  penyembah berhala, yang tidak membenarkan adanya rasul yang diutus Allah Ta’ala  dan tidak membenarkan kitab yang Dia turunkan. Lalu mereka menulis satu kitab dengan tangan sendiri.[4]


Nyatanya, perangkaian yang membingungkan antara predikat ummiy untuk menyifati Nabi dengan ummiyyiin untuk orang-orang Arab, sama sekali tidak logis dan tidak dapat dibenarkan. Hal ini baik dilihat dari segi bahasa maupun dari sudut hubungan kalimat dalam Al-Qur’an, di mana satu lafadz seharusnya ditafsirkan dengan satu makna, bukan dengan dua makna yang berlainan. Atau, yang dimaksud dengan ummiy adalah orang yang tidak tahu syariat Ilahi, atau orang yang tak mengerti baca tulis. Dari sini, terungkap kekeluruan para ahli tafsir yang menerangkan sifat ke-ummiy-an Nabi sebagai ketidakmampuan membaca dan menulis. Kekeliruan kaum orientalis malah bertambah-tambah. Karena, takwil mereka didasari atas pendapat lemah yang dibagi menjadi dua, kemudian mereka percayai sebagian dan mengingkari sebagian yang lain, dan berikutnya mengemukakan pendapat yang kekanak-kanakan: Orang Arab –menurut mereka- dikatakan ummiy adalah lantara kebodohan mereka terhadap syariat Tuhan. Sedangkan Nabi disebut ummiy, dinisbatkan kepada orang-orang Arab yang bodoh itu, karena beliaulah yang mengajar mereka tentang syariat Allah. Jadi, beliau adalah Nabi orang-orang bodoh, atau Nabi orang-orang ummiy itu!

Yang menyelamatkan kita dari igauan ini justru kejelasan nash Al-Qur’an itu sendiri. Nash itu tidak memerlukan takwil. Kata ummi –baik sebagai sifat orang Atab, maupun sebagai sifat Nabi- maksudnya tidak lain adalah: orang yang tidak mengerti baca-tulis. Arti kata ini difahami oleh sebagian besar ahli tafsir dab dipegang ulama umat hingga hari ini[5]

Dengan demikian, tidaklah berlebih-lebihan untuk mengatakan orang Arab sebagai ummiy. Karena ummiy dalam arti tidak tahu baca tulis memang dominan pada kebanyakan orang Arab. Yang sungguh berlebih-lebihan adalah bahwa tulis-menulis dan sarana-sarananya telah dikenal secara meluas di kalangan non Arab. Begitu pula anggapan bahwa mereka tdak bodoh dalam hal tulis-menulis, melainkan bodoh terhadap syariat Allah. Karena, tidak ada seorang peneliti pun yang mendatangkan bukti atas pendapat yang tidak bermutu ini.





[1] Teks: إِلاَّ بِضْعَةَ عَشَرَ رَجُلاً يَقْرَؤُونَ وَيَكْتُبُونَ
[2] Sebagai contoh lihatlah Shahiifah Hammam bin Munabbih, hal.3, bagaimana Dr. Humaidullah selalu mengulang-ulang khabar ini dengan rasa puas, kemudian bandingkan dengan: H. Lammens, La Mecque a la Veille de I’Hegire, Beirut 1924, hal. 122. Dan para ahli sejarah gemar sekali mengulang-ulang ungkapan ini: “Ketika itu tulis-menulis di Arab sangat sedikit.” (Ibnu Sa’ad, 3/2, 148)

[3] Ayat 2 Surat Al-Jumu’ah:
هُوَ ٱلَّذِى بَعَثَ فِى ٱلْأُمِّيِّۦنَ رَسُولًۭا مِّنْهُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِهِ
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka.
[4] Penafsiran ummiyyiin seperti ini dapat ditemukan dalam riwayat Ath-Thabary dari Ibnu Abbas (I/296) ketika menerangkan firman Allah:
وَمِنْهُمْ أُمِّيُّونَ لَا يَعْلَمُونَ ٱلْكِتَٰبَ إِلَّآ أَمَانِىَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
“Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.” (Q.S. Al-Baqarah: 78)
Dari penakwilan semacam ini, kaum orientalis menemukan alasan bagi anggapan mereka bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebenarnya bisa membaca dan menulis. Sifat ummiy pada Nabi, tidak menafsirkan pengetahuan baca tulis. Lihat: Paret, Encycl, de I’Islam, IV/1070, DAN Horo Rovitz, Koranische Untersuchugen, hal. 52. Sebaiknya kaum orientalis membaca Tafsiir Ath-Thabary, supaya mereka tahu bahwa pendapat mereka lemah.
[5] Lihat: Ar-Raudh Al-Anfy Sirat Ibn Hisyaam, As-Suhaily, II/92 dan Thabaqaat bin Sa’ad, II/14/

----------------------------------------------

Sumber: Kitab Uluum Al-Hadiits wa Musthalahaatuh – Ardh wa Diraasah, Subhy Ash-Shalih, hal 14-15

Diketik ulang dengan sedikit perubahan oleh Hasan Al-Jaiyz



No comments:

Post a Comment