Saturday, March 16, 2013

Ramalan Dukun-dukun Arab, Rahib-rahib Yahudi dan Pendeta-pendeta Nasrani



Rahib-rahib Yahudi, pendeta-pendeta Nasrani dan dukun-dukun Arab ramai membincangkan kedatangan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebelum beliau diangkat menjadi rasul karena zaman kemunculannya sudah dekat. Rahib-rahib Yahudi dan pendeta-pendeta Nasrani itu mengetahuinya dari buku-buku mereka yang menceritakan tentang karakteristik beliau dan kondisi zaman kemunculannya. Dan juga dari janji-janji nabi mereka kepada mereka. Sementara dukun Arab mengetahui hal itu dari setan-setan bangsa jin yang kerapkali mendatangi mereka dengan membawa berita-berita yang mereka sadar dari langit. Sebab mustahil mereka mengetahuinya hanya dari ilmu nujum. Dukun-dukun itu membicarakan beberapa perihal beliau namun sepertinya orang-orang Arab tidak begitu peduli. Hingga akhirnya Allah mengutus beliau shallallahu alaihi wa sallam dan terjadilah beberapa perkara seperti yang dikabarkan oleh dukun-dukun itu, barulah mereka meyakininya!

Ketika zaman kemunculan beliau semakin dekat dan sudah tiba waktunya, setan-setan terhijab dari berita-berita langit, mereka terhalang dari tempat-tempat pengintaian yang biasa mereka duduki untuk menyadap berita langit, mereka dilempar dengan meteor. Bangsa jin mengetahui bahwa akan terjadi suatu perkara yang akan diturunkan Allah kepada hamba-hamba-Nya.

Sumber: Tahdziib Sirah Ibnu Hisyaam, Abd As-Salam Harun
Ditulis ulang oleh Hasan Al-Jaizy


Kisah Renovasi Ka’bah dan Pengambilan Keputusan



Ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam berusia 35 tahun, orang-orang Quraisy sepakat untuk merenovasi Ka’bah. Sebab Ka’bah itu berupa susunan batu-batu, lebih tinggi dari badan manusia, tepatnya sembilan hasta yang dibangun sejak masa Isma’il, tanpa ada atapnya, sehingga banyak pencuri yang suka mengambil barang-barang berharga yang tersimpan di dalamnya. Dengan kondisi seperti itu, bangunan Ka’bah semakin rapuh dan dingingnya pun sudah pecah-pecah. Lima tahun sebelum kenabian, Makkah dilanda banjir besar hingga meluap ke Baitul Haram, sehingga sewaktu-waktu bisa mmebuat Ka’bah menjadi runtuh. Sementara itu, orang-orang Quraisy dihinggapi perasaan bimbang antara merenovasi Ka’bah dan membiarkannya seperti apa adanya. Namun akhirnya mereka sepakat untuk tidak memasukkan bahan-bahan bangunan kecuali yang baik-baik. Mereka tidak menerima masukan dari maskawin para pelacur, jual beli dengan sistem riba dan perampasan terhadap harta orang lain. Sekalipun begitu mereka merasa takut untuk merobohkannya. Akhirnya Al-Walid bin Al-Mughirah Al-Makhzumy mengawali perobohan bangunan Ka’bah, lalu diikuti semua orang, setelah tahu tidak ada sesuatu pun yang menimpa Al-Walid. Mereka terus bekerja merobohkan setiap bangunan Ka’bah, hingga sampai rukun Ibrahim. Setelah itu mereka siap membangunnya kembali.

Kajian Bulughul Maram – Hadits 1159 (3 Hal Yang Menghalalkan Darah Seorang Muslim)



وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا, عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ: - لَا يَحِلُّ قَتْلُ مُسْلِمٍ إِلَّا فِي إِحْدَى ثَلَاثِ خِصَالٍ: زَانٍ مُحْصَنٌ فَيُرْجَمُ, وَرَجُلٌ يَقْتُلُ مُسْلِمًا مُتَعَمِّدًا فَيُقْتَلُ, وَرَجُلٌ يَخْرُجُ مِنْ اَلْإِسْلَامِ فَيُحَارِبُ اَللَّهَ وَرَسُولَهُ, فَيُقْتَلُ, أَوْ يُصْلَبُ, أَوْ يُنْفَى مِنْ اَلْأَرْضِ . - رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ

Dari Aisyah radhiyallahu anha, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Tidak halal hukumnya membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu dari 3 hal: pezina muhshan, maka pelakunya harus dirajam; seorang laki-laki yang membunuh seorang muslim secara sengaja, maka ia harus dibunuh juga; seorang laki-laki yang keluar dari agama Islam, di mana ia memerangi Allah dan Rasul-Nya,maka ia dibunuh atau disalib atau diasingkan.” (H.R. Abu Daud, no. 4353,  An-Nasa’i, 7/91 dan Al-Hakim, 4/367) Dinilai shahih oleh Al-Hakim.

Peringkat Hadits

Hadits di atas adalah hadits shahih. Ia memiliki 3 jalur sanad dari Aisyah radhiyallahu anha:

Pertama, diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan Ad-Daruquthny.
Kedua, diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa’i, Ibnu Abi Syaibah, Ath-Thayalisy dan para perawi haditsnya tsiqah.
Ketiga, diriwayatkan oleh Abu Daud, An-Nasa’i dan Ad-Daruquthny. Sanad haditsnya shahih sesuai dengan syarat Muslim. Adz-Dzahaby menyetujuinya. Hadits ini juga dinilai shahih oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Ad-Dirayah.

Kosakata Hadits
 

Tuesday, March 12, 2013

Nabi Khidhr Masih Hidup?!



Banyak hadits yang disandarkan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengenai cerita bahwa Khidhr masih hidup dan melakukan pertemuan dengan Nabi Yasa’, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu anhum, Umar bin Abdul Aziz rahimahullah dan sebagainya.[1] Berikut salah satu contohnya:

عن أنس بن مالك قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "إنَّ الخَضرَ في البحر واليسع في البر, يجتمعان كل ليلة عند الردم الذي بناه ذو القرنين بين الناس وبين يأجوج ومأجوج, ويحجان أو يجتمعان كل عام, ويشربان من زمزم سربة تكفيهما إلى قابل."

Dari Anas bin Malik, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Khidhr di lautan dan Yasa’ di daratan. Keduanya bertemu setiap malam di benteng yang dibangun oleh Dzul Qarnain untuk menghalangi manusia dari Ya’juj dan Ma’juj. Keduanya menunaikan haji atau bertemu setiap tahun. Dan keduanya minum air Zamzam yang mencukupi untuk tahu berikutnya.”
 

Monday, March 11, 2013

Hadits Qudsi



Hadits menurut bahasa artinya baru. Hadits juga –secara bahasa- berarti sesuatu yang dibicarakan dan dinukil, juga sesuatu yang sedikit dan banyak. Bentuk jamaknya adalah ahaadiits.

Adapun “Qudsi” menurut bahasa dinisbatkan kepada “Qudus” yang artinya suci, yaitu sebuah penisbatan yang menunjukkan adanya pengagungan dan pemuliaan, atau penyandaran kepada dzat Allah yang Maha Suci.

Sedangkan Hadits Qudsi menurut istilah adalah apa yang disandarkan oleh Nabi dari perkataan-perkataan beliau kepada Allah.

Thursday, March 7, 2013

Kajian Bulughul Maram – Hadits 1158



عَنْ اِبْنِ مَسْعُودٍ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - - لَا يَحِلُّ دَمُ اِمْرِئٍ مُسْلِمٍ; يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ, وَأَنِّي رَسُولُ اَللَّهِ, إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: اَلثَّيِّبُ اَلزَّانِي, وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ, وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ; اَلْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ


Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anh berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak halal darah (tidak boleh dibunuh) seorang muslim yang telah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan sesungguhnya aku adalah Rasulullah kecuali dengan salah satu dari 3 hal: Seorang janda/duda yang berzina, orang yang membunuh dan orang yang meninggalkan agamnya serta orang yang memisahkan diri dari kelompok muslim.” (Muttafaq Alaih – H.R. Al-Bukhary, no. 6878, dan Muslim, no. 1676)

Kisah Pengangkatan Muhammad Sebagai Rasulullah



Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah berusia 40 tahun, Allah mengutusnya menjadi rasul-Nya sebagai rahmat bagi sekalian alam yang diutus kepada segenap umat manusia dan sebagai pembawa kabar gembira. Sebelumnya Allah Ta’ala telah mengambil perjanjian dari tiap-tiap rasul yang diutus sebelum beliau agar beriman kepada beliau dan membenarkannya, membelanya terhadap siapa saja yang menentangnya. Allah juga telah memerintahkan mereka supaya menyampaikannya kepada setiap orang yang beriman dan membenarkan mereka. Lalu mereka pun menyampaikan kebenaran yang mereka ketahui tentang rasul akhir zaman itu kepada umat manusia.
 

Tuesday, March 5, 2013

Islamkah Orang Tua Nabi -Shallallahu Alaihi Wa Sallam-?


 HADITS:


عن عائشة قالت: حج بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم حجة الوداع فمر بي على عقبة الحجون، وهو باك حزين مغتم، فنزل فمكث عني طويلاً ثم عاد إلي وهو فرح مبتسم، فقلت له؟ فقال: ذهبت لقبر أمي فسألت الله يحييها فأحياها فآمنت بي وردها الله

Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata: “Pada saat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaksanakan haji bersama kami, beliau bertemu denganku di Aqabah Hajun sambil menangis sedih, lalu beliau turun dan tinggal cukup lama kemudian kembali lagi kepadaku dengan gembira dan senyum, maka aku tanyakan hal itu padanya, lalu beliau menjawab, “Aku pergi ke kuburan ibuku, lalu aku memohon kepada Allah agar menghidupkannya, kemudian ibuku beriman kepadaku, lalu Allah mematikannya kembali.”

MAUDHU’ (PALSU). Diriwayatkan Ibnu Syahin dalam An-Naasikh wa Al-Mansuukh, no. 656, Al-Jauraqany dalam Al-Abaathil wa Al-Manaakir (I/222), Ibnul Jauzy dalam Al-Maudhuu’aat (I/283-284)

Ibnul Jauzy berkata, “Maudhu’ tanpa diragukan lagi! Ibunda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat di kota Abwa antara kota Madinah dan Makkah seta dikubur di sana, bukan di Hajun!”

Al-Jauraqany berkata, “Hadits ini bathil!”

Imam Adz-Dzahaby berkata, “Hadits ini dusta dan bertentangan dengan hadits shahih bahwa beliau meminta izin kepada Rabb-nya untuk memintakan ampun untuk ibunya tetapi Allah tidak mengizinkannya.”[1]

Saturday, March 2, 2013

MUDHTHARIB



Definisi

Mudhtharib adalah hadits yang para perawinya berselisih dalam hal sanad dan matannya serta tidak mungkin melakukan kompromi dan tarjih dalam hal itu. Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakr radhiyallahu anh, bahwasanya dia berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, ‘Aku melihat engkau telah beruban’. Maka beliau bersabda:

شَيِّبَتْني هُودُ وأَخَواتُها

“Aku dibuat beruban oleh Hud dan surat-surat lain yang memiliki kandungan semisalnya.”

Dalam hal ini terdapat perbedaan hingga mencapai 10 bentuk. Hadits ini diriwayatkan secara maushul, mursal, diriwayatkan dari Musnad Abu Bakr, Aisyah, Sa’d, dan berbagai perbedaan lain yang tidak mungkin dikompromikan dan tidak dapat menentukan pilihan yang lebih kuat (tarjih).

·         Jika kompromi dapat dilakukan, maka wajib dikompromikan dan dengan pengkompromian itu  status idhthirab tidak lagi melekat pada hadits tersebut. Contohnya adalah perbedaan riwayat tentang ihram Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada saat haji Wada’. Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa beliau melakukan ihram untuk haji, sedangkan dalam sebagian riwayat lain disebutkan beliau melakukan haji Tamattu’, dan dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa beliau melakukan Qiran, umrah dan haji.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Tidak ada pertentangan di antara riwayat-riwayat tersebut karena beliau melakukan tamattu’ seperti tamattu’ Qiran, melakukan Ifrad dalam amalan-amalan haji, dan melakukan Qiran antara manasik umrah dan haji. Jadi, beliau melakukan haji Qiran karena beliau menggabungkan dua manasik. Beliau melakukan ifrad karena hanya melakukan satu thawaf dan satu sa’i dan beliau juga melakukan tamattu’ karena kesenangan beliau yang hanya melakukan satu kali safar.”

·         Jika memungkinkan untuk melakukan tarjih (menetapkan pendapat terkuat), maka pendapat terkuat diamalkan dan dengan demikian hilanglah status idhthirab dari hadits tersebut.

Penyerangan Bani Hanifah dan Perang Yamamah Pada Masa Abu Bakr


Abu Bakr radhiyallahu anh mengutus Khalid bin Al-Walid radhiyallahu anh ke daerah Yamamah untuk menyerang Bani Hanifah. Sebelumnya, sang Khalifah mengutus pasukan Ikrimah bin Abu Jahl dan Surahbil bin Hasanah radhiyallahu anhuma ke tempat yang sama. Pasukan Bani Hanifah berjumlah 4.000 personil. Ketika tiba dan bergabung bersama dua pasukan pendahulu, Khalid bin Al-Walid segera menempatkan Syurahbil bin Hasanah di barisan terdepan, Zaid bin Al-Khaththab radhiyallahu anh di sayap kanan, dan Abu Hudzaifah radhiyallahu anh di sayap kiri.

Kaum Muslimin terus bergerak maju, hingga Khalid radhiyallahu anh dan mereka berada di suatu bukit yang tinggi di Yamamah. Khalid kemudian mendirikan tenda di situ. Bendera kaum Muhajirin dipegang oleh Salim radhiyallahu anh, bekas budak Abu Hudzaifah radhiyallahu anh, sedangkan bendera kaum Anshar dipegang oleh Tsabit bin Qais radhiyallahu anh.

Peperangan pun berlangsung begitu sengit; sampai-sampai Tsabit bin Qais melubangi tanah setinggi separuh betis sebagai tempat berpijak kedua kakinya, setelah sebelumnya dia memakai minyak wangi dan mengenakan kain kafan. Saat itu, Tsabit tetap okoh berdiri hingga gugur sebagai syahid. Di tempat lain, salah seorang kaum Muhajirin bertanya kepada Salim: “Takutkah engkau jika kita diserang dari arah sini?” Pertanyaan ini dijawab, “Jika benar aku merasa takut, maka akulah penghafal Al-Qur’an yang terburuk.”

Khalid bin Al-Walid radhiyallahu anh terus menyerang hingga mendesak pasukan musuh, kemudian kembali bergabung dengan pasukan Muslim lainnya. Setelah itu, dia berdiri di antara dua pasukan dan mengajak mereka bertarung satu lawan satu. Setiap orang yang maju melawan Khalid saat itu terbunuh. Lalu di tengah peperangan yang semakin berkecamuk, Khalid memecah kaum Muhajirin, kaum Anshar, dan orang-orang Badui, lantas menjadikan setiap kabilah di bawah satu bendera, sehingga mereka tahu dari mana mereka akan diserang. Ketika itu, kaum Muslimin menghadapi perang dahsyat ini dengan kesabaran yang luar biasa.

Munculnya Sijah, Wanita Yang Mengklaim Sebagai Nabi

Di masa kekhalifahan Abu Bakr radhiyallahu anh, terjadi perbedaan sikap di kalangan Bani Tamim. Hal ini tepatnya pada masa-masa kemurtadan. Di antara mereka ada yang memang keluar dari agama Islam, ada yang hanya enggan membayar zakat, ada yang tetap memeluk Islam, dan ada pula yang ragu-ragu. Ketika itulah Sijah binti Al-Harits  At-Taghlibiyyah, seorang Nashrani Arab, datang dan mengklaim dirinya sebagai Nabi. Dia diikuti oleh bala tentara dari kaumnya dan sekutu mereka. Dengan pasukan tersebut, Sijah bertekad menyerbu Madinah. Dan ketika melewati negeri Bani Tamim, dia mengajar mereka untuk mengikutinya, dan mayoritasnya menyambut seruan itu. Sijah mengadakan perjanjian dengan mereka untuk tidak melakukan peperangan di antara sesama mereka.

Malik bin Nuwairah membelokkan tekad Sijah dari menyerang Madinah. Malik mengajaknya untuk menyerang Bani Yarbu’ dan kabilah lainnya, serta meminta Sijah supaya menunda penyerangan terhadap Madinah. Kemudian Sijah dan bala tentaranya bermaksud merebut Yamamah dari Musailamah sang pendusta. Mendengar keberangkatan pasukan Sijah, Musailamah takut karena ketika itu pasukannya sedang disibukkan oleh peperangan melawan kaum Muslimin.

Perang kecil ini terjadi di antara mereka sebelum Perang Yamamah berkecamuk. Maka, Musailamah mengutus seseorang untuk mengadakan perjanjian dengan Sijah. Lalu perjanjian dibuat dengan imbalan setengah tanah kekuasaan Musailamah akan diberikan kepada Sijah.

Setelah itu, Musailamah mengutus seseorang sebagai perantara untuk meminta Sijah menikah dengannya. Musailamah berkata, “Izinkanlah aku menikahimu. Dengan begitu, aku dapat menguasai seluruh Jazirah Arab dengan gabungan kekuatan kaumku dan kaummu.” Sijah menjawab, “Ya”. Namun, ketika mendengar kedatangan pasukan Muslim yang dipimpin Khalid bin Walid radhiyallahu anh, Sijah bergegas kembali ke negerinya dan menetap di Bani Taghlib. Ada juga yang mengatakan, dia kembali memeluk Islam karenanya. (Al-Bidayah Wa An-Nihayah, VI/324)




Sumber: Hiqbah Min At-Taariikh, Syaikh Dr. Utsman Al-Khamiis
Dibantu dengan terjemahan oleh Syafaruddin, Lc.
Diketik ulang oleh Hasan Al-Jaizy



Al-Aswad Al-Ansi, Si Nabi Palsu


Al-Aswad Al-Ansi, orang yang juga dikenal dengan nama Abhalah bin Ka’ab ini mengaku dirinya sebagai Nabi dan keluar bersama 700 pasukan pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Pasukan itu pergi ke Shan’a dan menaklukkannya, sampai seluruh negeri Yaman tunduk kepada mereka. Kejahatan Al-Aswad menyebar laksana api yang menjadlar, hingga masalahnya menjadi pelik dan sulit. Banyak penduduk Yaman keluar dari agama Islam karenanya. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat, perilakunya tersebut belum berubah.

Pada masa kekhalifahan Abu Bakr radhiyallahu anh, Fairuz Ad-Dailamy radhiyallahu anh membunuhnya. Ketika itu, Al-Aswadh sedang tidur dalam keadaan mabuk. Fairuz menyabet Nabi palsu ini dengan pedang sehingga suaranya melengking sekeras kuakan sapi yang pernah didengar manusia. Mendengar suara nyaring tersebut, para penjaga bersegera menuju ke kamarnya. Lantas mereka bertanya-tanya, “Ada apa ini? Apa yang terjadi?” Istri Al-Aswad –seorang wanita shalihah- menjawab: “Nabi sedang menerima wahyu.” Maka, mereka pun kembali.

Kemudian kaum Muslimin dan kaum Musyrikin yang tidak mengikuti ajaran Al-Aswad berkumpul di sekitar benteng tempatnya berada. Lalu, salah seorang kaum Muslimin berseru, “Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah dan Abhalah (Al-Aswad Al-Ansi) adalah pendusta!” Orang itu lantas melemparkan kepala Abhalah ke arah orang-orang di situ. Maka, para pengikut Al-Aswad pun bercerai-berai, bahkan mereka dikejar masyarakat seraya dipukuli di setiap jalan. (Al-Bidayah wa An-Nihayah (VI/315)


Sumber: Hiqbah Min At-Taariikh, Syaikh Dr. Utsman Al-Khamiis
Dibantu dengan terjemahan oleh Syafaruddin, Lc.
Diketik ulang oleh Hasan Al-Jaizy

Friday, March 1, 2013

TADLIS



Definisi

Tadlis artinya menyampaikan hadits dengan sanad yang dikira berderajat lebih tinggi daripada derajat yang sesungguhnya.

Berbagai Bentuk Tadlis

Tadlis terbagi menjadi 2 bentuk, yaitu tadlis isnad dan tadlis syuyukh.

Tadlis isnad adalah seorang perawi meriwayatkan sebuah hadits dari seorang (syaikh), namun sebenarnya ia tidak mendengar dari orang tersebut atau ia tidak melihat hal itu dikerjakan oleh orang tersebut. Perawi tersebut meriwayatkannya dengan lafadz yang menggambarkan bahwa ia telah mendengar atau melihatnya. Contoh قال (dia berkata), فعل (dia berbuat), عن فلان (dari fulan), أن فلان قال (bahwa fulan berkata), فعل (berbuat) atau sejenisnya.

Tadlis syuyukh adalah seorang perawi menyebut atau menyifati gurunya dengan sifat yang tidak ia miliki, sehingga orang menyangka gurunya tersebut adalah orang lain. Hal ini bisa jadi karena gurunya lebih muda darinya, sehingga dia tidak ingin ketahuan bahwa ia telah meriwayatkan dari orang yang lebih muda darinya. Atau perawi tersebut melakukan hal tersebut dengan tujuan agar orang-orang mengira bahwa dia memiliki banyak guru, atau ia melakukannya karena berbagai tujuan yang lain.

Para Pelaku Tadlis (Mudallisun)

Para pelaku tadlis sangat banyak. Di antara mereka ada perawi yang dha’if (lemah_ dan ada yang tsiqah (kredibel) seperti Al-Hasan Al-Bashry, Humaid Ath-Thawil, Sulaiman bin Mihran Al-A’masy, Muhammad bin Ishaq dan Al-Walid bin Muslim.

Al-Hafidz (Ibnu Hajar) mengelompokkan mudallisuun (pelaku tadlis) ke dalam 5 tingkatan sebagai berikut:

Pertama, perawi yang jarang melakukan tadlis seperti Yahya bin Sa’id.

Kedua, perawi yang dianggap oleh para imam ahli hadits telah melakukan tadlis, tetapi mereka tetap menuliska hadits yang ia sampaikan dalam kitab Shahih karena perawi tersebut adalah seorang imam dan hanya sedikit melakukan tadlis sehingga perbuatan tadlisnya itu tidak teranggap jika dibandingkan keimamannya. Contoh perawi jenis ini adalah Sufyan Ats-Tsaury.
Bisa jadi ia melakukan tadlis, namun ia hanya melakukan tadlis dari perawi yang tsiqah seperti yang dilakukan oleh Sufyan bin Uyainah.

Ketiga, orang yang sering melakukan tadlis yang tidak sebatas pada para perawi kredibel (tsiqah) saja seperti Abu Az-Zubair Al-Makky.

Keempat, orang yang sebagian besar tadlis yang dia lakukan berasal dari para perawi dha’if dan majhul seperti yang dilakukan oleh Baqiyyah bin Al-Walid.

Kelima, orang yang disifati lemah karena suatu faktor yang lain, seperti Abdullah bin Luhai’ah.

Hukum Hadits Mudallas

Hadits yang diriwayatkan oleh perawi mudallis tidak dapat diterima kecuali bila dia seorang yang tsiqah dan menegaskan (menyampaikan hadits tersebut dengan shighah jazm) bahwa dia mengambil hadits tersebut secara langsung dari orang yang dia riwayatkan haditsnya (syaikh) dengan mengatakan, “سمعت فلانا يقول   (aku mendengar fulan berkata), “رأيت فلانا يفعل” (aku melihat fulan melakukan), “حدثني” (dia menceritakan kepadaku) atau sejenisnya. Akan tetapi, hadits yang terdapat dalam kitab Shahih Al-Bukhary dan Shahih Muslim yang menggunakan shighat tadlis dari para perawi mudallis yang kredibel (tsiqat) tetap diterima karena umat telah menerima dua kitab shahih ini dengan sepenuh hati tanpa perlu perincian.


Sumber: Ilm Mushthalah Al-Hadiits, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Penerjemah: Ahmad S Marzuqi
Diketik ulang dari buku Mushthalah Hadits cetakan Media Hidayah

Friday, February 15, 2013

HADITS PALSU POPULER: 007 Umur Dunia


Hadits:

الدُنْيَا كُلُّها سَبْعَةُ أَيَّامٍ مِنْ أَيَّام الآخرَة, وَذَلِكَ قَوْلُ اللهِ تَعَالَى:

(وَإِنَّ يَوْمًا عِندَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍۢ مِّمَّا تَعُدُّونَ)

“Dunia itu semuanya tujuh hari dari hari-hari akhirat, itulah firman Allah, “Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (Q.S. Al-Hajj: 47)

MAUDHU’ (PALSU). Diriwayatkan oleh Ibnu Syahin dalam Ar-Ruba’iyyat (I/172), As-Suhamy dalam Taarikh Jurjan (no.99), dan Ad-Dailamy (II/149): dari Umar bin Yahya bin Nafi’, dari Ala’ bin Zaidal, dari Anas secara marfu’.
Hadits ini maudhu’, sebab Ala bin Zaidal adalah pemalsu hadits sebagaimana yang dikatakan oleh Ali Ibn Al-Madiny. Adapun Umar bin Yahya bin Nafi’, saya tidak mengetahui perihalnya.

Hadits ini dicantumkan oleh Ibnul Jauzy dalam kitab Al-Maudhuu’aat, lalu berkomentar, “Hadits ini maudhu’ (palsu), yang tertuduh adalah Ala bin Zaidal.”

As-Sakhawy mengatakan, “Ibnu Katsir menegaskan bahwa hadits ini tidak shahih.” Katanya juga, Demikian pula hadits-hadits tentang pembatasan hari Kiamat secara pasti, semuanya tidak shahih sanadnya.[1]

Dari segi matan, hadits ini juga bathil. Karena kenyataan telah membuktikan kebathilan hadits-hadits yang berkaitan tentang penentuan umur umat yang dihitung dengan hitungan tahun. Bagaimana mungkin bagi manusia untuk menentukan dengan waktu seperti ini yang berkonekuensi penentuan waktu tibanya hari Kiamat??!!

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata, “Termasuk tanda-tanda hadits palsu adalah menyelisihi ketegasan Al-Qur’an seperti hadits tentang umur dunia. Ini jelas termasuk kedustaaan yang amat nyata! Sebab, seandainya shahih, berarti setiap orang bisa tahu tentang kapan terjadinya Kiamat, padahal Allah telah berfirman,

Tuesday, February 12, 2013

Hadits Shahih Lidzaatih


Hadits Shahih Lidzaatih adalah:

ما رواه عدل تام الضبط بسند متصل، وسلم من الشذوذ والعلة القادحة

“Apa yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang adil dan memiliki hafalan sempurna dengan sanad bersambung serta selamat dari syadz dan cacat yang berat.”


A. Al-Adaalah (keadilan) adalah istiqamah (konsistensi) dalam agama dan muruu’ah

Istiqamah dalam agama artinya menunaikan berbagai kewajiban dan meninggalkan berbagai keharaman yang dapat membuat seseorang menjadi fasik.

Istiqamah  dalam hal muruu’ah artinya memiliki adab dan akhlak yang dipuji manusia serta meninggalkan adab dan akhlak yang dicela manusia.

Sifat adaalah seorang perawi dapat diketahui dengan ketenaran akan sifat keadilan yang ia miliki. Misalnya para imam yang telah terkenal akan sifat adaalah-nya seperti Malik, Ahmad, Al-Bukhary, dan semisalnya. Demikian juga hal itu dapat diketahui dari pernyataan tegas seorang imam hadits yang ucapannya menjadi sandaran dalam hal itu.

Sunday, February 10, 2013

Keterputusan Sanad dan Beragam Jenisnya


Definisi

Keterputusan sanad (منقطع السند) adalah hadits yang sanadnya tidak bersambung.
Salah satu syarat hadits shahih dan hasan adalah sanadnya bersambung.

Berbagai Jenis Keterputusan Sanad

Keterputusan sanad terbagi menjadi 4 macam, yaitu mursal, mu’allaq, mu’dhal, dan munqathi’.

Mursal adalah hadits yang sanadnya diangkat (di-rafa’-kan oleh seorang sahabat atau tabi’in langsung kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam padahal dia tidak mendengarnya dari beliau).

Mu’allaq adalah hadits yang dihapus permulaan sanadnya. Kadang yang yang dimaksud adalah hadits yang seluruh sanadnya dihapus, misalnya ucapan Al-Bukhary:

وكان النبي صلّى الله عليه وسلّم يذكر الله في كل أحيانه

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa berdzikir kepada Allah dalam setiap keadaannya.”

Beberapa Faedah Hadits Ahad


Hadits-hadits ahad selain yang berderajat dha’if memiliki faedah-faedah sebagai berikut:

Pertama, menunjukkan dugaan kuat (zhann), yaitu dugaan terkuat akan keabsaan penisbatan hadits tersebut kepada orang yang menjadi sumber penukilan. Hal itu berbeda-beda sesuai dengan derajatnya. Hadits ahad bisa juga memberikan faedah ilmu (yaqiin) jika memiliki berbagai indikasi (qaraa’in) yang menguatkan hal itu dan dikuatkan oleh dalil pokok (yaitu Al-Qur’an atau hadits shahih).

Kedua, mengamalkan kandungannya, yaitu dengan membenarkannya jika berupa berita dan menerapkannya (melaksanakannya) jika berupa tuntutan.
Adapun hadits dha’if, maka tidak memberikan faedah zhann, tidak dapat diamalkan, tidak boleh dianggap sebagai dalil, tidak boleh disampaikan kecuali jika disertai penjelasan akan kelemahannya. Namun hadits dha’if boleh disampaikan dalam perkara targhiib (anjuran) dan tarhiib (enakut-nakuti). Sekelompok ulama bersikap toleran dalam hal tersebut dengan memberi 3 syarat berikut:

Sifat Rasulullah Dalam Injil!


Ibnu Ishaq berkata: “Di antara berita yang sampai kepadaku tentang sifat-sifat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang dijelaskan Nabi Isa bin Maryam di dalam Injil kepada Ahli Injil yang telah disebutkan oleh Yohannes, salah seorang Hawary yang menyalin Injil dari zaman Isa bin Maryam, bahwasanya ia berkata:

“Barangsiapa membuatku marah, berarti ia telah membuat Allah murka. Sekiranya aku tidak melakukan beberapa perkara di hadapan mereka yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun sebelumku niscaya mereka tidak jatuh dalam kesalahan. Tetapi ada beberapa ayat yang mereka tolak sementara mereka mengira telah mengalahkanku dan mengalahkan Ar-Rabb! Tetapi firman ilahi di dalam Namus ini harus disempurnakan. Mereka marah kepadaku secara keji karena kedatangan seorang Al-Munhamanna yang diutus Allah kepada jalian. Ruhul Quds (Jibril) yang berada di sisi Allah telah keluar, dia akan menjadi saksi atas diriku dan atas diri kalian juga. Sebab dahulu kalian selalu menyertaiku.  Hal ini kukatakan kepada kalian agar kalian tak ragu!” (Silahkan lihat INJIL YOHANA 15: 23-26

Al-Munhanmanna dalam bahasa Siryaniyyah berarti Muhammad, dalam bahasa Romawi disebut Al-Baraqliths.

------------------------------------

Sumber: Tahdziib Sirah Nabawiyyah Ibnu Hisyam, Abdus Salam Harun
diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsary
ditulis ulang oleh Hasan Al-Jaizy

Saturday, February 9, 2013

HADITS DHA’IF & MAUDHU’ : 006 Debu dan Asma


تنكبوا الغبار فإنه منه تكون النسمة

“Hindarilah debu, karena darinyalah timbulnya penyakit asma.”

Saya (Al-Albany) tidak mengetahui adanya sumber untuk hadits ini.

Ibn Al-Atsir menyebutnya dalam kitab An-Nihayah materi Nasama dan ia katakan sebagai hadits. Namun, saya tidak mengetahui sumber aslinya secara marfu’ (sampai sanadnya kepada Rasulullah).

Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat Al-Kubra VIII/98 meriwayatkan bahwa Abdullah bin Shalih Al-Mashry berkata, dari Harmalah bin Imran tentang apa yang diceritakan kepada mereka dari Ibn Sindir budak Nabi shallallahu alaihi wa sallam, berkata: “Suatu hari, datanglah Amr bin  Al-Ash dan Ibnu Sindir telah bersama sekelompok orang. Tiba-tiba ia (Ibnu Sindir) dan bersama lainnya berjalan di depan Amr bin Al-Ash sehingga menebarkan debu. Amr pun kemudian mengulurkan imamah (surban) nya seraya menutupi hidungnya dan berkata, “Hati-hatilah kalian terhadap debu karena itu merupakan sesuatu yang sangat mudah masuk dan paling sulit keluarnya. Bila debu telah masuk menembus paru-paru, maka timbullah penyakit asma.””

HADITS DHA’IF & MAUDHU’ : 005 Meninggalkan Sesuatu Karena Allah


Hadits:

ما ترك عبد شيئا لله لا يتركه إلا لله إلا عوضه منه ما هو خير له فى دينه ودنياه

“Tidaklah seorang hamba meninggalkan sesuatu karena Allah dan ia tidak meninggalkannya kecuali karena Allah kecuali Allah menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik baginya dalam urusan agama serta keduniaannya.”

MAUDHU’ dengan lafadz di atas.

Saya (Al-Albany) sendiri pernah mendengar kata-kata tersebut diutarakan oleh seorang tokoh yang tengah mengisi acara di radio Damaskus pada bulan Ramadhan.

Abu Nu’aim telah mengutarakannya di Hilyat Al-Auliyaa’ (2/196) yang beliau katakan setelahnya, “Hadits ini ghariib.”

Juga Ad-Dailamy mengutarakannya dalam Al-Gharaaib Al-Multaqathah (4/27). Kesemuanya dari jalur Abdullah bin Sa’d Ar-.

Jenis Hadits Ahad Berdasarkan Jalur Periwayatannya


Berdasarkan jalur periwayatannya, hadits ahad terbagi menjadi 3 jenis, yaitu masyhur, aziz dan gharib.

1. Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang perawi atau lebih, tetapi tidak sampai kepada derajat mutawatir. Contohnya adalah sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam:

المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده

“Seorang muslim tidaklah mengganggu kaum muslimin dengan lisan dan tangannya.”

2. Aziz adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh dua orang perawi. Contohnya adalah sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam:

Friday, February 8, 2013

Apa Itu 'Mutawaatir'?

Mutawaatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang berjumlah banyak dan mereka mustahil berdusta (dalam menyampaikannya) serta mereka menyandarkan hadits tersebut kepada sesuatu yang dapat diindera.

Hadits mutawaatir terbagi menjadi 2, yaitu:

a. Hadits yang memiliki lafadz dan makna mutawaatir

b. Hadits yang memiliki makna mutawaatir

Hadits yang memiliki lafadz dan makna mutawaatir adalah hadits yang para perawinya meriwayatkan lafadz dan makna yang sama. Contohnya adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

من كذب عليَّ مُتعمداً فليتبوَّأ مقعدَه من النار

“Barangsiapa berdusta atas nama diriku dengan sengaja, hendaknya ia menempati tempat duduknya dari api neraka.”

Lebih dari 60 orang sahabat meriwayatkan hadits ini dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, di antaranya adalah 10 sahabat yang telah diberi kabar gembira dengan surga (dalam satu rangkaian hadits). Dan begitu pula banyak orang meriwayatkan hadits ini dari mereka.

Abu Bakar, Nama dan Keislamannya


Nama asli Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu anh adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr.[1] Fihr ini tidak lain adalah Quraisy.

Ali bin Abu Thalib radhiyallahu anh menyatakan, “Allah Ta’ala menurunkan nama untuk Abu Bakar dari langit, yaitu Ash-Shiddiiq.” Ali sendiri bersumpah akan pernyataannya ini.[2]

Dari Abu Darda’ radhiyallahu anh, ia bercerita, “Ketika aku sedang duduk-duduk bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam, tampak Abu Bakar datang sambil mengangkat bagian bawah pakaiannya hingga lututnya kelihatan. Melihat hal itu, Nabi berkomentar, “Temanmu ini (yaitu Abu Bakar) habis bertengkar.”

Tidak lama kemudian, Abu Bakar mengucapkan salam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya antara diriku dan Ibn Al-Khaththab (Umar) terjadi suatu masalah kecil. Aku buru-buru memarahinya tadi, tetapi aku pun menyesalinya. Karena itulah aku meminta maaf kepadanya, namun ia menolak. Karena itu pula, aku datang menemuimu (untuk mengadukan masalah ini).”

Beliau shallallahu alaihi wa sallam lalu bersabda:

Abu Bakar dan Wafatnya Rasulullah




Ketika kabar wafatnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu anh baru datang dari Sanh, sebuah daerah dekat Madinah dan di tempat itulah istri Abu Bakar radhiyallahu anh, Habibah binti Kharijah tinggal. Kemudian, ia membuka penutup wajah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mencium kening beliau seraya berkata, “Ayah dan ibuku sebagai tebusan, engkau adalah orang suci baik ketika masih hidup maupun setelah wafat.”

Abu Bakar menutup wajah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kemudian berdiri dan naik ke atas mimbar, lalu menyadarkan orang-orang:

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ، وَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ يَعْبُدُ اللهَ فَإِنَّ اللهَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ

“Barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad, maka ketahuilah bahwasanya Muhammad telah meninggal. Dan barangsiapa di antara kalian yang menyembah Allah, maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Hidup, takkan pernah mati.”

Lalu, ia membacakan firman Allah: