Saturday, March 2, 2013

MUDHTHARIB



Definisi

Mudhtharib adalah hadits yang para perawinya berselisih dalam hal sanad dan matannya serta tidak mungkin melakukan kompromi dan tarjih dalam hal itu. Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakr radhiyallahu anh, bahwasanya dia berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, ‘Aku melihat engkau telah beruban’. Maka beliau bersabda:

شَيِّبَتْني هُودُ وأَخَواتُها

“Aku dibuat beruban oleh Hud dan surat-surat lain yang memiliki kandungan semisalnya.”

Dalam hal ini terdapat perbedaan hingga mencapai 10 bentuk. Hadits ini diriwayatkan secara maushul, mursal, diriwayatkan dari Musnad Abu Bakr, Aisyah, Sa’d, dan berbagai perbedaan lain yang tidak mungkin dikompromikan dan tidak dapat menentukan pilihan yang lebih kuat (tarjih).

·         Jika kompromi dapat dilakukan, maka wajib dikompromikan dan dengan pengkompromian itu  status idhthirab tidak lagi melekat pada hadits tersebut. Contohnya adalah perbedaan riwayat tentang ihram Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada saat haji Wada’. Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa beliau melakukan ihram untuk haji, sedangkan dalam sebagian riwayat lain disebutkan beliau melakukan haji Tamattu’, dan dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa beliau melakukan Qiran, umrah dan haji.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Tidak ada pertentangan di antara riwayat-riwayat tersebut karena beliau melakukan tamattu’ seperti tamattu’ Qiran, melakukan Ifrad dalam amalan-amalan haji, dan melakukan Qiran antara manasik umrah dan haji. Jadi, beliau melakukan haji Qiran karena beliau menggabungkan dua manasik. Beliau melakukan ifrad karena hanya melakukan satu thawaf dan satu sa’i dan beliau juga melakukan tamattu’ karena kesenangan beliau yang hanya melakukan satu kali safar.”

·         Jika memungkinkan untuk melakukan tarjih (menetapkan pendapat terkuat), maka pendapat terkuat diamalkan dan dengan demikian hilanglah status idhthirab dari hadits tersebut.


Contohnya adalah perbedaan riwayat  tentang hadits Barirah radhiyallahu anha ketika dia telah dimerdekakan, lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberinya pilihan untuk tetap bersama suaminya atau bercerai darinya. (Sisi perbedaannya) adalah apakah status suami Barirah adalah seorang merdeka atau budak? Al-Aswad meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anha bahwa suaminya adalah seorang yang merdeka. Sementara itu Urwah bin Az-Zubari dan Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr meriwayatkan dari Aisyah bahwa suami Barirah adalah seorang budak. Riwayat keduanya (Urwah dan Al-Qasim) lebih kuat dibanding dengan riwayat Al-Aswad karena keduanya lebih dekat dengan Aisyah karena beliau adalah khalah (bibi dari jalur ibu) Urwah dan ammah (bibi dari jalur ayah) Al-Qasim, sedangkan Al-Aswad adalah seorang laki-laki asing bagi Aisyah. Di samping itu, riwayat Al-Aswad adalah merupakan riwayat yang munqathi’.

Hukum Hadits Mudhtharib

Hukum hadits mudhtharib adalah dha’if (lemah) dan tidak dapat dipergunakan sebagai dalil (hujjah). Hal ini dikarenakan status idhthirab tersebut menunjukkan bahwa para perawinya tidak dhabth. Berarti memiliki kekurangan dari segi hafalan. Jika idhthirab yang terjadi tidak berkaitan dengan kandungan pokok suatu hadits, maka hal ini tidak mempengaruhi keabsahan hadits. Contohnya adalah perbedaan riwayat hadits Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu anh bahwasanya dia membeli kalung yang mengandung emas dan beruntaikan permata (manik-manik) sewaktu perang Khaibar dengan harga 12 dinar. Dia berkata, “Kemudian emas dan permata tersebut aku pisahkan dan ternyata aku jumpai bahwa nilai kalung tersebut ternyata melebihi 12 dinar. Kemudian aku beritahukan kepada Nabi. Kemudian beliau bersabda:


(لَا تُبَاعُ حَتَّى تُفَصَّلَ)

“Tidak boleh dijual sebelum emas tersebut dipisahkan.”

Dalam sebagian riwayat lain  disebutkan dengan lafadz فَضَالَة اشتراها  (Fadhalah membelinya).

Dalam sebagian riwayat disebutkan dengan lafadz أن غيره سأله عن شرائها  (bahwa orang lain meminta beliau untuk membeli kalung tersebut).

Dalam riwayat lain disebutkan dengan lafadz ذهب وجوهر (kalung itu terdiri dari emas dan permata).

Dalam riwayat lain dengan lafadz خرج معلقة بذهب (permata yang dihubungkan dengan kalung emas).

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa harga kalung tersebut 12 dinar, sedangkan dalam riwayat lain disebutkan seharga 9 dinar, dan dalam riwayat lainnya seharga tujuh dinar.

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Berbagai perbedaan ini tidak menyebabkan status hadits tersebut menjadi dha’if. Bahkan, inti pendalilan dari hadits ini tetap terjaga dan tidak terdapat pertentangan. Inti pendalilan hadits ini adalah larangan menjual emas yang belum dipisahkan dengan kandungan lain yang berupa non-emas. Adapun (perbedaan) jenis kalung atau harganya, maka dalam hal ini tidaklah terkait dengan maksud atau inti pendalilan yang dapat menjadikan hadits ini mudhtharib.”

Demikian pula perbedaan nama perawi, kunyah atau yang sejenisnya tidaklah membuat suatu hadits menjadi mudhtharib selama orang yang dimaksud tetap sama sebagaimana hal ini banyak dijumpai dalam hadits-hadits yang shahih.




Sumber: Ilm Mushthalah Al-Hadiits, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Penerjemah: Ahmad S Marzuqi
Diketik ulang dari buku Mushthalah Hadits cetakan Media Hidayah

No comments:

Post a Comment