Definisi
Mudhtharib
adalah hadits yang para perawinya berselisih dalam hal sanad dan matannya
serta tidak mungkin melakukan kompromi dan tarjih dalam hal itu.
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakr radhiyallahu anh,
bahwasanya dia berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, ‘Aku
melihat engkau telah beruban’. Maka beliau bersabda:
شَيِّبَتْني
هُودُ وأَخَواتُها
“Aku dibuat beruban oleh Hud dan surat-surat lain yang memiliki
kandungan semisalnya.”
Dalam
hal ini terdapat perbedaan hingga mencapai 10 bentuk. Hadits ini diriwayatkan
secara maushul, mursal, diriwayatkan dari Musnad Abu Bakr,
Aisyah, Sa’d, dan berbagai perbedaan lain yang tidak mungkin dikompromikan dan
tidak dapat menentukan pilihan yang lebih kuat (tarjih).
·
Jika kompromi dapat dilakukan, maka wajib
dikompromikan dan dengan pengkompromian itu
status idhthirab tidak lagi melekat pada hadits tersebut.
Contohnya adalah perbedaan riwayat tentang ihram Nabi shallallahu alaihi wa
sallam pada saat haji Wada’. Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa beliau
melakukan ihram untuk haji, sedangkan dalam sebagian riwayat lain disebutkan
beliau melakukan haji Tamattu’, dan dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa
beliau melakukan Qiran, umrah dan haji.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Tidak ada pertentangan di antara
riwayat-riwayat tersebut karena beliau melakukan tamattu’ seperti tamattu’
Qiran, melakukan Ifrad dalam amalan-amalan haji, dan melakukan Qiran antara
manasik umrah dan haji. Jadi, beliau melakukan haji Qiran karena beliau
menggabungkan dua manasik. Beliau melakukan ifrad karena hanya melakukan satu
thawaf dan satu sa’i dan beliau juga melakukan tamattu’ karena kesenangan
beliau yang hanya melakukan satu kali safar.”
·
Jika memungkinkan untuk melakukan tarjih
(menetapkan pendapat terkuat), maka pendapat terkuat diamalkan dan dengan
demikian hilanglah status idhthirab dari hadits tersebut.
Contohnya
adalah perbedaan riwayat tentang hadits
Barirah radhiyallahu anha ketika dia telah dimerdekakan, lalu Nabi shallallahu
alaihi wa sallam memberinya pilihan untuk tetap bersama suaminya atau
bercerai darinya. (Sisi perbedaannya) adalah apakah status suami Barirah adalah
seorang merdeka atau budak? Al-Aswad meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu
anha bahwa suaminya adalah seorang yang merdeka. Sementara itu Urwah bin
Az-Zubari dan Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr meriwayatkan dari Aisyah bahwa
suami Barirah adalah seorang budak. Riwayat keduanya (Urwah dan Al-Qasim) lebih
kuat dibanding dengan riwayat Al-Aswad karena keduanya lebih dekat dengan
Aisyah karena beliau adalah khalah (bibi dari jalur ibu) Urwah dan ammah
(bibi dari jalur ayah) Al-Qasim, sedangkan Al-Aswad adalah seorang laki-laki
asing bagi Aisyah. Di samping itu, riwayat Al-Aswad adalah merupakan riwayat
yang munqathi’.
Hukum
Hadits Mudhtharib
Hukum
hadits mudhtharib adalah dha’if (lemah) dan tidak dapat dipergunakan
sebagai dalil (hujjah). Hal ini dikarenakan status idhthirab tersebut
menunjukkan bahwa para perawinya tidak dhabth. Berarti memiliki
kekurangan dari segi hafalan. Jika idhthirab yang terjadi tidak
berkaitan dengan kandungan pokok suatu hadits, maka hal ini tidak mempengaruhi
keabsahan hadits. Contohnya adalah perbedaan riwayat hadits Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu
anh bahwasanya dia membeli kalung yang mengandung emas dan beruntaikan
permata (manik-manik) sewaktu perang Khaibar dengan harga 12 dinar. Dia
berkata, “Kemudian emas dan permata tersebut aku pisahkan dan ternyata aku
jumpai bahwa nilai kalung tersebut ternyata melebihi 12 dinar. Kemudian aku
beritahukan kepada Nabi. Kemudian beliau bersabda:
(لَا تُبَاعُ حَتَّى
تُفَصَّلَ)
“Tidak boleh dijual sebelum emas tersebut dipisahkan.”
Dalam sebagian riwayat lain disebutkan dengan lafadz فَضَالَة اشتراها (Fadhalah membelinya).
Dalam
sebagian riwayat disebutkan dengan lafadz أن غيره سأله عن شرائها (bahwa orang lain meminta beliau untuk membeli
kalung tersebut).
Dalam
riwayat lain disebutkan dengan lafadz ذهب وجوهر (kalung
itu terdiri dari emas dan permata).
Dalam
riwayat lain dengan lafadz خرج
معلقة بذهب (permata yang dihubungkan dengan kalung emas).
Dalam
riwayat lain disebutkan bahwa harga kalung tersebut 12 dinar, sedangkan dalam
riwayat lain disebutkan seharga 9 dinar, dan dalam riwayat lainnya seharga
tujuh dinar.
Al-Hafidz
Ibnu Hajar berkata, “Berbagai perbedaan ini tidak menyebabkan status hadits
tersebut menjadi dha’if. Bahkan, inti pendalilan dari hadits ini tetap terjaga
dan tidak terdapat pertentangan. Inti pendalilan hadits ini adalah larangan
menjual emas yang belum dipisahkan dengan kandungan lain yang berupa non-emas.
Adapun (perbedaan) jenis kalung atau harganya, maka dalam hal ini tidaklah
terkait dengan maksud atau inti pendalilan yang dapat menjadikan hadits ini
mudhtharib.”
Demikian
pula perbedaan nama perawi, kunyah atau yang sejenisnya tidaklah membuat suatu
hadits menjadi mudhtharib selama orang yang dimaksud tetap sama
sebagaimana hal ini banyak dijumpai dalam hadits-hadits yang shahih.
Sumber: Ilm Mushthalah Al-Hadiits, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Penerjemah: Ahmad S Marzuqi
Diketik ulang dari buku Mushthalah Hadits cetakan Media Hidayah
No comments:
Post a Comment