Tuesday, March 5, 2013

Islamkah Orang Tua Nabi -Shallallahu Alaihi Wa Sallam-?


 HADITS:


عن عائشة قالت: حج بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم حجة الوداع فمر بي على عقبة الحجون، وهو باك حزين مغتم، فنزل فمكث عني طويلاً ثم عاد إلي وهو فرح مبتسم، فقلت له؟ فقال: ذهبت لقبر أمي فسألت الله يحييها فأحياها فآمنت بي وردها الله

Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata: “Pada saat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaksanakan haji bersama kami, beliau bertemu denganku di Aqabah Hajun sambil menangis sedih, lalu beliau turun dan tinggal cukup lama kemudian kembali lagi kepadaku dengan gembira dan senyum, maka aku tanyakan hal itu padanya, lalu beliau menjawab, “Aku pergi ke kuburan ibuku, lalu aku memohon kepada Allah agar menghidupkannya, kemudian ibuku beriman kepadaku, lalu Allah mematikannya kembali.”

MAUDHU’ (PALSU). Diriwayatkan Ibnu Syahin dalam An-Naasikh wa Al-Mansuukh, no. 656, Al-Jauraqany dalam Al-Abaathil wa Al-Manaakir (I/222), Ibnul Jauzy dalam Al-Maudhuu’aat (I/283-284)

Ibnul Jauzy berkata, “Maudhu’ tanpa diragukan lagi! Ibunda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat di kota Abwa antara kota Madinah dan Makkah seta dikubur di sana, bukan di Hajun!”

Al-Jauraqany berkata, “Hadits ini bathil!”

Imam Adz-Dzahaby berkata, “Hadits ini dusta dan bertentangan dengan hadits shahih bahwa beliau meminta izin kepada Rabb-nya untuk memintakan ampun untuk ibunya tetapi Allah tidak mengizinkannya.”[1]


Syaikh Ali bin Sulthan Al-Qari berkata, “Hadits ini lemah dengan kesepakatan ahli hadits sebagaimana diakui oleh As-Suyuthy.”[2]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak shahih menurut Ahli Hadits, bahkan mereka bersepakat bahwa hadits ini adalah dusta sekalipun diriwayatkan dengan sanad para perawi yang tidak dikenal. Tidak ada perselisihan di kalangan ahli hadits bahwa hadits tersebut adalah palsu dan sangat nyata kedustaannya. Seandainya kejadian tersebut benar-benar terjadi, niscaya akan banyak dinukil karena masalah seperti ini sangat luar biasa ditinjau dari dua segi:

Pertama: Segi menghidupkan orang yang telah meninggal dunia.
Kedua: Segi keimanan setelah mati.

Hadits ini di samping palsu, juga bertentangan dengan Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’.”[3]

Faedah: Syaikh Al-Albany berkata tentang hadits ini, “Ini adalah kisah yang bathil menurut para pakar ulama seperti Ibnul Jauzy, Ibnu Taimiyyah dan selainnya. Di antara yang membuatnya bathil adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada seorang yang bertanya tentang ayahnya, “Ayahku dan ayahmu di Neraka”. Hadits ini shahih[4] sekalipun As-Suyuthy dalam sebagian risalahnya[5] telah memberatkan diri untuk mementahkannya. Alangkah bagusnya ucapan Syaikh Abdurrahman Al-Yamany ketika mengomentari hadits ini dalam Al-Fawaa’id Al-Majmuu’ah (hal. 322) oleh Asy-Syaukaany, “Seringkali kecintaan seseorang tak terkendalikan sehingga ia menerjang hujjah serta memeranginya, padahal orang yang diberi taufiq mengetahui bahwa hal itu berlawanan dengan kecintaan yang disyariatkan.”[6]

Alangkah bagusnya ucapan Syaikh Abu Ishaq Al-Huwainy tatkala berucap, “Termasuk kegilaan, bila orang yang berpegang teguh dengan hadits-hadits shahih disifati dengan kurang adab. Demi Allah, seandainya hadits tentang Islamnya kedua orang tua Nabi adalah shahih, niscaya kami adalah orang yang paling bahagia dengannya. Bagaimana tidak? Sedangkan mereka adalah manusia yang paling dekat dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang lebih saya cintai daripada diriku ini. Allah menjadi saksi atas apa yang saya ucapkan ini. Tetapi tidaklah kita membangun suatu ucapan tanpa ada dalilnya yang shahih. Sayangnya, banyak manusia melangkahi dalil yang shahih dan menerjang hujjah. Wallahu al-musta’aan.”[7]



Sumber: “Koreksi Hadit-hadits Dha’if Populer” karya Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi”
Diketik ulang oleh Hasan Al-Jaizy




[1] Miizaan Al-I’tidaal (II/684)

[2] Adillah Mu’tqad Abi Haniifah, hal. 87

[3] Majmuu’ Al-Fataawa (IV/324)

[4] Lihat kembali tulisan Ustadz Abu Ubaidah As-Sidawy “Aqidah Salaf Tentang Kedua Orang Tua Nabi” dalam Majalah Al-Furqon edisi 7, tahun II.

[5] Seperti dalam risalahnya Masaalik Al-Hunafaa’ fi Waalidai Al-Musthafa, At-Ta’zhiim wa Al-Minnah fi Anna Abawai Ar-Rasuul fi Al-Jannah, dan lain sebagainya. (Lihat taqdim Syaikh Masyhur atas Adillah Mu’taqad Abi Hanifah (hal. 5), Al-Haawy li Al-Fataawy (II/352) karya As-Suyuthy, dan Mu’allafaat As-Suyuuthy Al-Makhthuuthah (hal. 48)).

[6] Muqaddimah Bidaayah As-Suul fi Tafdhiir Ar-Rasuul, Al-Izz bin Abdis Salaam, hal. 16-17. Lihat pula Shahiih Siirah Nabawiyyah, hal. 24-27, dan Silsilah Ash-Shahiihah, no. 2592, keduanya karya Al-Albany.

[7] Majalah At-Tauhiid, Mesir (hal. 37, edisi 3/Rabiul Awwal 1421)

No comments:

Post a Comment